Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

4 Fakta Ekowisata yang Salah Kaprah Dipahami

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Sabtu, 23 Oktober 2021, 07:46 WIB
4 Fakta Ekowisata yang Salah Kaprah Dipahami
Air terjun Tangkahan, Medan/Ist
rmol news logo Ekowisata atau ecotourism belakangan makin digemari masyarakat. Melalui destinasi ekowisata, para traveler bisa mendapat ketenangan dari alam.

Namun sayang, ternyata masih banyak masyarakat yang belum benar-benar mengerti apa itu konsep ekowisata sebenarnya.

Project Coordinator Hutan Itu Indonesia (HII), Diyah Deviyanti memparkan beberapa hal yang salah kaprah dalam memaknai ekowisata.

Wisata Alam Pasti Ekowisata

Banyak yang berpikir jalan-jalan ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, apalagi taman nasional, sudah pasti berkonsep ekowisata. Ternyata, tidak selalu begitu. Diyah menjelaskan, memang betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka.

Namun, ekowisata menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, tentang budaya, juga tentang masyarakat lokalnya. Satu hal yang pasti, kegiatan kita sebagai wisatawan maupun pengelola tempat wisata tidak merusak alam.

"Sekalipun hutan atau taman nasional, jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata," papar Diyah Deviyanti, Sabtu (23/10).

Ada hal mendasar yang membedakan destinasi ekowisata dan tempat wisata secara umum, yaitu fasilitas pendukung.

Di tempat wisata umum, meski menampilkan keindahan alam, biasanya terdapat bermacam fasilitas untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Misalnya, toilet dan tempat makan. Diyah menyoroti, ketika membangun fasilitas tersebut, terkadang pengelolanya lupa memperhatikan ekosistem.

“Di destinasi ekowisata, Anda tidak akan menemukan fasilitas pendukung. Karena, tujuan ekowisata adalah melindungi kealamian suatu lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar," lanjutnya.

Ekowisata Itu Murah

Banyak yang berpikir ekowisata murah karena traveling ke alam tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menginap di hotel dengan fasilitas bagus atau untuk makan di resto. Jadi, sudah pasti biayanya akan lebih murah daripada jalan-jalan ke kota.

Namun anggapan ini tak benar. Ekowisata justru cenderung memakan banyak biaya. Diyah mencontohkan, kalau suatu tempat wisata dibuka secara besar-besaran, tiket masuknya akan lebih murah. Sedangkan pada destinasi ekowisata yang jumlah pengunjungnya dibatasi, biayanya akan lebih tinggi.

“Pembatasan pengunjung penting dilakukan agar alam tidak rusak. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Dana ini bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek," jelasnya.

Diyah menjamin, meski terbilang cukup mahal, pengalaman pergi ke area berkonsep ekowisata pasti akan sepadan dengan biayanya.

Kegiatan di Lokasi Ekowisata Tak Berbeda dengan Tempat Wisata Umum

Pandangan ini perlu diluruskan. Semisal berwisata ke hutan, meski yang satu menerapkan konsep ekowisata dan satunya lagi tidak, namun wisata berkonsep ekowisata bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan.

Diyah bercerita, ketika pergi ke Tangkahan, ia menemukan hutan yang masih sangat alami. Tidak dibuat apa-apa di dalamnya. Ada jalan setapak tanah yang kecil tanpa dilapisi bebatuan. Di tengah hutan ia bertemu babi dan monyet. Di ujung hutan terdapat sebuah sungai.

Bagi pengunjung, tersedia rumah-rumah ramah lingkungan yang dilengkapi toilet. Pengunjung bisa memilih akan menginap di bangunan yang sudah disediakan warga, atau homestay di rumah warga.

“Menginap di hutan juga bisa. Ada area yang bisa digunakan untuk membangun tenda, tanpa membuka lahan. Di area sungai sering kali ada area bebatuan yang bisa dijadikan lokasi kemping. Atau, ada sejumlah area lapang di bawah pepohonan,” kata Diyah.

Eco-Friendly Traveling sama dengan Ecotourism

Karena sama-sama ada kata ‘eco’, dan sama-sama mengandung unsur wisata, maka tak sedikit yang menyangka bahwa eco-friendly traveling sama dengan ecotourism. Namun sebenarnya tidak sama.

Eco-friendly traveling lebih pada rasa kepedulian atau tanggung jawab sebagai traveler terhadap lingkungan.

Namun, Diyah melihat ada benang merah di antara keduanya, yaitu sama-sama peduli terhadap alam. Hanya, caranya saja yang berbeda.

Ia mencontohkan perilaku eco-friendly traveling. Ketika kita pergi dengan pesawat, artinya ada jejak karbon yang cukup besar. Maksudnya, ada karbondioksida dari pesawat yang dihasilkan dan berpotensi menyebabkan polusi.

"Kalau kita paham soal eco-friendly traveling, kita punya tanggung jawab untuk ‘mengganti’ pelepasan karbon tersebut. Salah satu caranya adalah mengadopsi pohon yang sudah cukup besar dan telah menghasilkan banyak oksigen," jelasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA