Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Garuda Indonesia Diminta Fokus Pada Pasar Domestik, Alvin Lie: Itu Realistis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 07 Juni 2021, 19:05 WIB
rmol news logo Maskapai penerbangan Garuda Indonesia tengah mengundang sorotan di tanah air beberapa waktu belakangan. Hal ini utamanya berkaitan dengan kinerja serta beban utang yang membengkak hingga Rp 70 triliun di pertengahan tahun ini.

Menurut pengamat penerbangan Alvin Lie, alasan lain mengapa Garuda Indonesia mendapat banyak perhatian publik Indonesia adalah karena maskapai tersebut memiliki nilai-nilai historis yang kental.

"Ketika pertama pertama kali Indonesia punya maskapai penerbangan, itu adalah Garuda Indonesia, menggunakan pesawat yang disumbangkan dari Aceh. Sehingga ada nilai-nilai yang bukan hanya bisnis di sini," jelasnya dalam program diskusi virtual mingguan RMOL World View bertajuk "Apa Kabar Dunia Aviasi Tanah Air?" yang diselenggarakan pada Senin (7/6).

"Kita juga pernah punya BUMN penerbangan yang sudah tutup yakni Merpati. Tapi tidak heboh seperti Garuda Indonesia saat ini. Karena nilai dan karakternya berbeda," sambungnya.

Oleh karena itulah, dia mengapresiasi sikap Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang pada akhir pekan kemarin mendorong agar Garuda Indonesia melakukan restrukturisasi dalam banyak aspek, termasuk dalam mengubah model bisnis pasca pandemi dengan fokus menggarap pasar penerbangan domestik.

"Kemarin, Pak Erick meminta agar Garuda Indonesia dan Citilink fokus pada pasar domestik, itu realistis," ujarnya.

Pasalnya, menurut Alvin, memang selama ini semua maskapai penerbangan di Indonesia hidup dari pasar domestik. Sedangkan rute penerbangan internasional hanya sebagai tambahan.

"Misalnya saja Garuda Indonesia, rute penerbangan internasional yang menguntungkan setau saya seperti Jepang, China. Tapi rute penerbangan yang ke Eropa, Amsterdam misalnya, apalagi London, itu setiap terbang pasti rugi. Bukan puluhan juta. Terbang ke sana dan balik lagi bisa rugi sampai miliaran. Untuk rute-rute seperti itu harus bisa ditinjau kembali," papar Alvin.

Bukan hanya itu, sambungnya, hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah soal perjanjian reciprocal alias timbal balik yang dimiliki Indonesia dengan sejumlah negara.

"Seperti misalnya dengan Qatar. Mereka terbang ke Indonesia, maka kita juga punya hak terbang ke Qatar. Atau UEA, mereka ada Emirates dan Etihad yang terbang ke sini. Maka kita juga punya hak terbang ke sana. Tapi hak-hak ini tidak kita pakai," katanya.

"Pertanyaannya, kenapa negara lain bisa mengoperarisakannya dan. menguntungkan, tapi kita tidak?" demikian Alvin Lie. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA