Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Oen Peugaga, Warisan Leluhur Aceh Nan Kaya Khasiat Yang Hanya Ada Selama Ramadan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 06 Mei 2021, 17:32 WIB
Oen Peugaga, Warisan Leluhur Aceh Nan Kaya Khasiat Yang Hanya Ada Selama Ramadan
Oen Peugaga, sajian khas Aceh yang jadi favorit untuk berbuka puasa/RMOLAceh
rmol news logo Selain budayanya yang khas, Aceh juga dikenal dengan kekayaan kuliner yang nikmat. Sebagian besar hidangan tidak hanya nikmat di lidah, namun juga menyehatkan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Satu di antaranya adalah oen kaye sambal. Hidangan ini juga dikenal dengan sebutan oen peugaga alias daun peugaga. Saat Ramadan, penganan ini banyak dijual karena dicari untuk hidangan berbuka puasa.

Maisyitah, penjual oen peugaga mengatakan, masakan ini diracik dengan 44 macam dedaunan. Sajian khas masyarakat Aceh ini merupakan warisan nenek moyang Ureueng Aceh sejak berabad-abad silam.

Sejumlah daun lainnya, ialah campuran dari tanaman kebun dan persawahan yang diaduk dalam irisan tipis menyerupai benang-benang halus.

“Sudah lima tahun membuat oen peugaga. Kalau ibu sejak 30 tahun lalu sudah berjualan ini,” kata Maisyitah di Aceh Selatan kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu (5/5).

Maisyitah menuturkan, selain rasanya yang khas dan unik, oen peugaga juga diyakini berkhasiat mengatasi banyak penyakit. Sebut saja yang populer seperti diabetes dan kolesterol.

“Bahkan, seperti yang diceritakan secara turun temurun, memakan oen peugaga dapat menambah daya ingat,” terang Maisyitah.

Di samping itu, menurut kepercayaan masyarakat desa, menyantap sambal oen peugaga saat berbuka puasa dapat menjadikan saksi bahwa seseorang pernah berpuasa saat di akhirat kelak.

Saat ini penjual oen peugaga sulit dicari di luar Ramadan. Makanan ini hanya akan dijumpai ketika Ramadan.

“Itupun hanya beberapa daerah yang ada, bahkan ada di daerah di Aceh tidak ada lagi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Maisyitah menyebutkan dedaunan yang jadi bahan baku utama oen peugaga. Di antaranya oen si geuntot, oen jambe (daun jambu), oen mamplam (daun mangga), oen kruet (daun jeruk purut), oen kunyet (daun kunyit), oen gulima (daun jambu kelutuk atau guava), dan lainnya.

Dalam mercampur sejumlah dedaunan itu, daun-daun yang memiliki rasa pahit tidak boleh dimasukkan ke dalam racikan.

Menariknya, walaupun menetap di pedesaan, Maisyitah mengaku kesulitan memperoleh sebagian bahan baku sambal oen peugaga. Untuk mendapati bahan-bahan tersebut, tak jarang dia berkeliling sawah bahkan mendaki gunung.

Jika untuk dijual, lanjut Maisyitah, setelah dicincang halus, oen peugaga dicampuri setengah jam sebelum dijual. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan rasa gurih dan wangi dari daun-daun.

“Makanan kuliner warisan indatu ini berbagai orang. Pembelinya dari berbagai usia, ada orang tua ada juga kaum anak muda," sebutnya.

Sebagai warga pedesaan, Masyitah harus menempuh jarak jauh untuk menjual oen peugaga dengan berjalan kaki ke pusat keramaian.

Oen peugaga ini dibungkus dengan daun pisang dan dijual seharga Rp 2.000 hingga Rp 5.000 per bungkus.

Kini, penjual oen peugaga, satu per satu mulai menghilang. Salah satu sebabnya adalah faktor usia. Sementara generasi penerus tak banyak yang tertarik melanjutkan tradisi warisan leluhur ini. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA