Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengacara Pemprov Banten Beberkan Perbedaan Korupsi Dana Hibah Era Ratu Atut Dan Wahidin Halim

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Sabtu, 01 Mei 2021, 13:20 WIB
Pengacara Pemprov Banten Beberkan Perbedaan Korupsi Dana Hibah Era Ratu Atut Dan Wahidin Halim
Kuasa hukum Pemerintah Provinsi Banten Asep Abdullah Busro/RMOLBanten
rmol news logo Kasus korupsi dana hibah bukan hanya terjadi di era kepemimpinan Gubernur Banten Wahidin Halim (WH), melainkan telah terjadi sejak era kepemimpinan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Demikian disampaikan kuasa hukum Pemerintah Provinsi Banten Asep Abdullah Busro, di Kota Serang, Sabtu (1/5).  

Kata Asep, pada tahun anggaran 2011 ada catatan penyelewengan hibah dengan nilai korupsi mencapai Rp 7,65 miliar.

Asep mengakui, saat itu dirinya dipercaya menjadi kuasa hukum orang dekat Atut sekaligus Kepala Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD) yakni Zaenal Muttaqin yang divonis 7 tahun kurungan penjara oleh Pengadilan Tipikor Serang atas kasus itu.

"Saya pernah menangani perkara hibah dulu jamannya Pak Zainal Muttaqin, saya lawyernya. Jadi, kalau masalah hibah saya sudah khatam dua kali," ujar Asep dikutip Kantor Berita RMOLBanten.

Diurai Asep, tipologi kasus korupsi hibah di masa Atut dan WH jelas berbeda. Pada masa Atut syarat kepentingan politis karena aktor kakapnya adalah Zaenal Muttaqin sudah vulgar memotong dana hibah, kemudian dana itu digunakan untuk kepentingan politik pemenangan Atut menjadi Gubernur Banten tahun 2012.

"Dan itu secara vulgar dibuka juga pemotongan yang dilakukan Zainal Muttaqin mencapai 90 persen dari 10 persen yang disisakan. Dan sudah ada putusan pengadilan," tegasnya.

Perbedaan lain, jelas Asep, kasus korupsi dulu karena banyak kelemahan di dalam sistem pemerintahan antara lain sistem pengajuan permohonan dana hibah menggunakan manual.

Jadi, rentan masih bisa dikorupsi melibatkan biro Kesra untuk melakukan penyelahgunaan wewenang.

"Kalau dikomparasikan dengan sekarang sistem e-hibah melalui online, sistem ini meminimalisir potensi-potensi penyalahagunaan wewenang oleh biro kesra," terang Asep.

Jaman dulu, lanjut Asep, ada tim pendampingan untuk asistensi permohonan hibah, fasilitasi LKPj sehingga celah korupsi ditataran birokrasi terbuka lebar.

"Sementara untuk sekarang cleanship pemprov bersifat objektif, independen, dan tidak berinteraksi dengan unsur lembaga pemohon hibah," katanya.

Tak cukup di situ, perbedaan lain kalau 2011 dulu kepala daerah, pimpinan daerah masih mau menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), mulai gubernur, wagub, hingga sekda.

"Tapi kalau sekarang praktis pada periodisasi Pak WH, beliau tidak menandatangani dan yang menandatangani adalah kepala biro atau OPD teknis yang bertindak menandatangani NPHD," ungkap Asep.

Asep menjelaskan, kasus pemotongan hibah di era WH dilakukan secara parsial oleh pihak swasta tidak ada pemotongan dilakukan oleh institusi pemprov karena dana data telah ditransfer ke ponpodk pesantren.

"Hanya oknum-oknum parsial saja yang memotong beberapa ponpes. Jadi, tidak bisa digeneralisir seluruh lembaga ponpes penerima dipotong" terangnya.

Terakhir, Asep memastikan bahwa dalam proses penyaluran dana hibah tahun anggaran 2020 gubernur sudah on the track dalam melaksanakan amanat UU pemberian hibah ini sesuai dengan prosedur mekanisme hukum yang berlaku.

Dasar hukum itu antara lain peraturan teknis Pergub Banten 10/2019 dan mengacu pada Permendagri 2/2011 dan UU Keuangan Negara beserta UU Daerah.

"Jadi, tidak ada relevansi jika hal-hal aspek NPHD (naskah perjanjian hibah daerah) atau teknis dihubung-hubungkan Pak Gubernur. Itu tidak berdasar," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA