Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kiai Taufik Damas: Dakwah Walisongo Tawarkan Islam Substantif dan Tidak Ekstrem

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Senin, 26 April 2021, 01:17 WIB
Kiai Taufik Damas: Dakwah Walisongo Tawarkan Islam Substantif dan Tidak Ekstrem
Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta, KH Taufik Damas/Net
rmol news logo Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan menggelar acara ngabuburit bertajuk Mata Air Kearifan Walisongo secara virtual dengan mengangkat sejumlah tema besar.

Kali ini BKNP PDI Perjuangan mengangkat tema "Walisongo sebagai Model Dakwah Moderasi Islam" dengan narasumber KH Taufik Damas dan dipandu oleh Rano Karno, pada Minggu (25/4).

Dalam acara yang digelar setiap hari pada bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB melalui kanal Youtube, Instagram dan Facebook BKNP PDI Perjuangan ini, Kiai Taufik Damas memaparkan cara berdakwah Walisongo di Nusantara.

Di mana, Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta ini menyebutkan, cara yang digunakan Walisongo adalah dengan menawarkan Islam yang subtantif dan tidak ekstrem, bahkan sangat menghargai adat dan budaya yang berkembang pada saat itu.  

"Ajaran Islam yang diajarkan Walisongo itu bukan cuma sebagai strategi awal, tapi mereka menawarkan Islam substantif, yang tentunya tidak ekstrim dan gampang sekali beradaptasi dengan kultur budaya yang berlaku," ujar Taufik Damas dalam keterangan etrtulis yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Senin (26/4).

"Bahkan dengan konsep-konsep keyakinan masyarakat yang sudah ada pada saat itu," sambungnya.

Ulama lulusan Universitas Al Azhar Kairo, Mesir itu menekankan, dakwah Walisongo tidak lantas mengubah kebiasaan masyarakat secara total. Melainkan juga mengedepankan dan menghargai tradisi setempat yang sudah ada sebagai ajaran dari agama-agama yang sudah berkembang kala itu.

"Budaya-budya semacam itu yang kemudian diakulturasi dengan ajaran Islam yang substantif secara perlahan,” ucapnya.

Tak heran, lanjut Taufik Damas, dengan cara substantif yang diajarkan Walisongo dalam memahami ajaran Islam, di mana penerimaan dari masyarakat indonesia sangat mudah. Ajaran seperti inilah yang kemudian dirawat dan dikembangkan oleh para kiai dan para ulama sampai saat ini.

“Alhamdulillah, cara substantif memahami ajaran Islam yang dikembangkan Walisongo sehingga mudah sekali diterima masyarakat Indonesia ketika itu, sampai sekarang dapat dirawat dan dikembangkan oleh para kiai dan ulama,” katanya.


Lebih lanjut, Taufik Damas mengurai salah satu kehebatan Walisongo, yakni mengajak cara berpikir masyarakat yang sebetulnya berkasta-kasta untuk menjadi masyarakat egaliter, merasa terhormat meskipun pada dasarnya mereka berasal dari rakyat jelata.

Taufik memberikan contoh bagaimana para wali memanggil diri sendiri dengan kata “Ingsun”, yang mana pada waktu itu hanya masyarakat kelas atas yang boleh menggunakannya. Namun, Walisongo mengajarkan untuk jangan sungkan memanggil diri sendiri dengan panggilan “Ingsun”.

Karena menurutnya, ada istilah yang sangat menarik ketika orang menerjemahkan niat, umpamanya ketika berniat berpuasa yang bunyi niatnya <'1>Nawaitu shauma ghadin an adai fardi syhari romadhona ....’

Nah, itu diartikan niat sopo ingsun, padahal kata ‘ingsun’ itu dulu rakyat jelata tidak boleh ngomong ingsun. Rakyat jelata hanya boleh bilang ‘kawula alit, abdi dalem”. Namun, para wali mengajarkan untuk jangan segan-segan menyebut dirimu sebagai ingsun melalui terjemahan kalimat Arab seperti niat,” ujar Taufik

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Pusat PDI Perjuangan Aria Bima mengatakan, uraian Kiai Taufik Damas mengajak kita untuk senantiasa bersyukur lantaran pembawa agama Islam ke Nusantara adalah orang-orang yang ilmu kislamannya sudah lengkap dan tidak sepotong-sepotong sehinga mereka mampu menghargai budaya yang sudah ada di Indonesia.

"Sebagaimana kita tahu, bahwa di Indonesia sebelum Islam datang, sudah ada agama Hindu, Budha, dan bahkan agama lokal yang usianya sudah tua seperti Kapitayan, Candrayana, Kejawen, Sunda Wiwitan, dan sebagainya," ucapnya.

"Semuanya itu dilihat oleh Walisong sebagai orang yang sudah totalitas dalam beragama, bukan sebagai sesuatu yang harus diubah secara total, namun sikap kebudayaan yang sudah ada di Indonesia bisa diakulturasi dengan ajaran Islam yang substantif,” tegas Aria Bima menutup. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA