Meskipun tetap diselenggarakan, warga menggelar tradisi Gebyuran Bustaman tersebut dengan cara berbeda.
Jika biasanya warga melakukan perang air sebagai simbol Gebyuran Bustaman, acara kali ini dikemas secara sederhana, namun tetap khidmat.
Tokoh masyarakat, Hari Bustaman, mengatakan pelaksanaan tradisi pada tahun ini dilakukan secara sederhana. Namun tidak mengurangi esensi Gebyuran Bustaman sebagai tradisi.
"Kalau sebelumnya ada pandemi, gebyuran dilakukan dengan saling melempar air yang masukkan ke dalam plastik dengan berbagai aneka warna. Tetapi pada tahun ini hanya perwakilan beberapa orang untuk diguyur air dengan menggunakan gayung,†kata Hari dikutip
Kantor Berita RMOLJateng, Sabtu (10/4).
Hari menambahkan, filosofi Gebyuran Bustaman adalah proses penyucian diri menjelang bulan puasa. Segala hal-hal negatif dibersihkan melalui simbol guyuran air kepada warga.
Kata dia, dalam sejarah Gebyuran Bustaman dulunya wajah warga dicoreng semuanya. Corengan tersebut sebagai simbol angkara murka, emosi, dan hal-hal negatif lainnya.
"Kemudian diguyur dengan air sebagai bentuk pensucian diri karena akan kedatangan bulan Ramadhan,†terang dia.
Hadir dalam acara Gebyuran Bustaman, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Indriyasari. Dia mengatakan Gebyuran Bustaman sempat terhenti pada 2020 tersebut.
Sehingga dengan sangat hati-hati mencoba menyelenggarakan kembali tradisi yang memang sudah bertahun-tahun dilaksanakan bersama dengan masyarakat.
"Memang sedikit berbeda dalam tradisi Gebyuran Bustaman yang sekarang ini dimodifikasi serta ada penyederhanaan dan penyesuaian karena ada beberapa hal yang harus dilakukan terutama menjaga prokes,†katanya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: