Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sawit, Benarkah Penyebab Banjir Kalsel?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Senin, 15 Maret 2021, 20:29 WIB
Sawit, Benarkah Penyebab Banjir Kalsel?
Banjir di Kalimantan Selatan Januari 2021 lalu./Net
rmol news logo Banjir besar yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 membuat banyak pihak menyalahkan perkebunan sawit yang dinilai sebagai ‘biang kerok’ penyebabnya. Perdebatan mengenai faktor utama penyebab banjir itu, apakah sawit atau yang lain, belum juga usai hingga kini.

Maklum, bencana air bah itu memaksa lebih dari 112 ribu warga mengungsi, sehingga upaya mengidentifikasi penyebab utamanya serta mencari jalan keluarnya, dianggap sangat penting.

Pemerintah bersikukuh dengan pernyataan bahwa faktor penyebab ‘mega banjir’ Kalsel adalah curah hujan yang tinggi. Presiden Jokowi sempat mengungkapkan bahwa curah hujan yang tinggi di Kalsel dalam 10 hari di bulan Januari itu menyebabkan daya tampung Sungai Barito tak mampu lagi mengatasi peningkatan debit air.

Tak setuju dengan pemerintah, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebut bencana banjir besar itu sebagai bencana ekologi. Sebab, terlepas dari adanya peningkatan curah hujan, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang berlangsung secara terus-menerus juga mengubah kondisi lingkungan sekitar sehingga rawan banjir.

Pegiat lingkungan Kalsel yang juga mantan Sekretaris Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) setempat, Sri Naida, mengatakan bahwa untuk menguji sejauhmana perkebunan sawit menyumbang faktor penyebab banjir diperlukan kejujuran dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan industri sawit. Masalahnya, data mengenai luasan lahan sawit dan siapa saja pemiliknya kerap simpang siur.

“Hingga saat ini, data dari dinas kehutanan, kementerian, KLHK, sering ‘overlap’ dan sulit dikonfirmasi mana yang benar,” kata alumnus Fakultas Biologi UGM tersebut kepada redaksi, Senin (15/3).

Meski demikian, Naida mengakui bahwa perkebunan-perkebunan sawit membuat kanal di dalam perkebunan sehingga air hujan dapat ditampung terlebih dulu. Saat musim hujan, kanal baru dibuka agar aliran airnya masuk ke sungai. Jika ditinjau melalui analisis hamparan dengan melihat ketinggian tanah dan aliran air, kata Naida, sulit untuk menyimpulkan bahwa perkebunan sawit merupakan penyebab utama banjir di Kalsel.

Meski demikian, ia sepakat dengan kalangan industri sawit perlu memperkuat komitmen mereka untuk pelestarian lingkungan. Apalagi, hal tersebut berulangkali ditekankan oleh pemerintah, sebagai upaya agar produk sawit kita dapat diterima di negara-negara Eropa.

“Momentum referendum perdagangan bebas di Swiss hendaknya menjadi momentum bagi industri perkebunan sawit agar semakin memperbaiki diri,” lanjut mantan anggota DPRD Kabupaten Banjar Baru itu.

Hal penting yang menurut Naida luput dari perdebatan adalah data tentang perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalsel. Anak-anak sungai di Kalsel, ujarnya, banyak yang ‘mati’ dalam beberapa waktu terakhir. Kalsel aslinya memiliki 927 anak sungai, namun kini lebih dari 700-nya mati. Kondisi ini diperparah, misalnya, dengan buruknya drainase di kota seperti Banjarmasin.

“Kematian anak sungai dan buruknya drainase itu juga memberikan kontribusi yang besar bagi terjadinya banjir terburuk di Kalsel dalam 50 tahun terakhir,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA