Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bela Warga Muara Kiawai, KNPI Gugat Dua Perusahaan Senilai Rp 288 M

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Jumat, 12 Maret 2021, 15:23 WIB
Bela Warga Muara Kiawai, KNPI Gugat Dua Perusahaan Senilai Rp 288 M
Pengurus KNPI saat mengadvokasi warga/Net
rmol news logo Tim Hukum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) tidak hanya melakukan pembelaan terhadap 4 masyarakat pemilik tanah ulayat di Muara Kiawai, Pasaman Barat, Sumatera Barat yang dijadikan tersangka usai unjuk rasa di tanah perkebunan milik mereka, tapi juga turut mendaftarkan gugatan perdata terhadap dua perusahaan kelapa sawit.

Ketua Bidang Hukum DPP KNPI Medya Risca Lubis mengatakan bahwa perusahaan yang dilaporkan berinisial MMG dan PA.

Keduanya digugat senilai Rp 288 miliar sebagai upaya hukum mendapatkan hak-hak pemilik tanah ulayat dari 4 kaum, yaitu Datuk Sati; Datuk Batuah; Datuk Malenggang; Datuk Bonsu, di Muara Kiawai.

Di mana diduga kedua perusahaan itu telah menggunakan tanah ulayat mereka sejak tahun 1991 seluas 320 hektare dengan dokumen-dokumen cacat hukum.

“Dan juga tidak pernah mendapatkan hak mereka yaitu kebun plasma seluas 10 persen. Gugatan lainnya adalah agar perusahaan mengembalikan tanah ulayat mereka,” kata Medya kepada wartawan, Jumat (12/3).

Dalam kasus ini, DPP KNPI juga akan bersurat untuk meminta agar Direktorat Jenderal Pajak segera memeriksa hasil panen yang dinikmati MMG sejak 25 tahun terakhir dari kebun kelapa sawit yang berlokasi di Hutan Lindung di Muara Kiawai. Luas kebun itu kira-kira 70 hektare, berdasarkan hasil telusur UPTD KPHL Pasaman Raya.

Kebun sawit di Hutan Lindung itu telah dipanen kira-kira sejak tahun 1995, sesuai kesaksian pekerja senior di perkebunan itu sampaikan kepada tim kuasa hukum.

Atas kasus ini, Medya menjelaskan bahwa pihaknya telah melaporkan perkara hasil panen dari hutan lindung tersebut ke Polda Sumatera Barat tanggal 8 September 2020.

Lapoan dibuat karena sempat mandeg saat dikirim ke Polres Pasaman Barat pada bulan Agustus 2020.

“Untuk menjadi catatan publik dan pemerintah, salah satu alasan penutupan jalan milik masyarakat adat yang membuat mereka ada di penjara saat ini adalah tentang pelanggaran hutan lindung dan sudah nyata memang benar ada perkebunan dan panen di area hutan lindung selama 25 tahun,” ungkapnya.  rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA