Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tidak Semua Tsunami Selalu Diawali Gempa Besar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Sabtu, 26 Desember 2020, 23:29 WIB
Tidak Semua Tsunami Selalu Diawali Gempa Besar
Koordinator Klaster Riset Disaster Education and Management (TDMRC), Rina Suryani Oktari/Repro
rmol news logo Bencana tsunami di Aceh 16 tahun silam telah membuka mata dunia untuk lebih siaga menghadapi bencana. Melalui inisiasi Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Provinsi Aceh akan memiliki satu qanun (peraturan daerah) khusus bernama Qanun Pendidikan Kebencanaan.

“Sebelum tsunami 2004, sikap masyarakat hingga pemerintah cenderung hanya sebatas responsif dan belum mengarah pada upaya mitigasi,” kata Koordinator Klaster Riset Disaster Education and Management (TDMRC), Rina Suryani Oktari, dalam diskusi virtual yang digagas Kantor Berita RMOLAceh bertajuk "Siaga di Negeri Bencana", Sabtu (26/12).

Dengan qanun ini, diharapkan muncul kesadaran untuk lebih proaktif sebelum bencana terjadi. Tsunami Aceh sendiri mendorong lahirnya Undang-Undang Kebencanaan Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan. Di tingkat global, kata Okta, lahir kerangka kerja bernama Hyogo Framework For Action.

Ditegaskan Okta, mayoritas masyarakat, khususnya di Aceh, menyamaratakan karakteristik tsunami. Masih kental anggapan bahwa tsunami harus diawali dengan gempa besar. Padahal tidak semua tsunami harus diawali dengan gempa besar.

Satu di antara pengalaman itu adalah saat terjadi tsunami Mentawai pada 2010. Tsunami ini kerap disebut para peneliti sebagai tsunami senyap karena tidak didahului oleh gempa bumi besar. Tsunami juga tidak harus ditandai dengan surutnya air laut beberapa saat setelah gempa bumi.

Karena itu Okta menilai tindakan sejumlah orang yang mengecek air laut usai gempa bumi besar sebagai tindakan yang tidak tepat. Bahkan mengecek surut atau tidaknya air laut usai gempa bumi dapat dikategorikan sebagai tindakan berisiko.

“Saat terjadi gempa di Jakarta, sekitar 2018, rekan-rekan media datang ke pantai untuk mengecek air laut untuk mengetahui apakah terjadi surut atau tidak. Pemahaman seperti ini perlu diperbaiki,” beber Okta.

Okta menambahkan, perlu perubahan persepsi terhadap tsunami. Sejumlah aturan yang dibuat terkait kesiapsiagaan bencana, terutama terhadap tsunami, masih belum mampu mengubah persepsi masyarakat terhadap tsunami.

Secara umum, kata Okta, kondisi kesiapsiagaan masyarakat Aceh terhadap tsunami tergolong baik. Namun dia juga menekankan pentingnya perbaikan-perbaikan pemahaman tentang tsunami agar tidak ada kesalahpahaman yang bisa menimbulkan bahaya.

TDRMC, jelas Okta, juga menelisik kesiapsiagaan sekolah dan puskesmas terkait tsunami. Hasilnya, TDRMC menilai kesiapsiagaan di sekolah berada dalam level yang tidak baik.

Hal ini, karena program-program tersebut bersifat top-down. Banyak sekolah yang tidak berani menjalankan program pendidikan kebencanaan secara mandiri, dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah, karena takut hal itu menjadi pelanggaran.

Usai gempa bumi di Pidie Jaya, TDRMC mendorong lahirnya Qanun Pendidikan Kebencanaan. Qanun ini, rencananya, akan diparipurnakan pada 28 Desember 2020. Okta berharap qanun ini dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA