Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Untuk Pancing Kedatangan Milenial, Strategi Marketing Pengelola Museum Harus Diubah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Rabu, 16 Desember 2020, 14:52 WIB
Untuk Pancing Kedatangan Milenial, Strategi Marketing Pengelola Museum Harus Diubah
Ilustrasi/Net
rmol news logo Tahun 2020 memberi tantangan besar bagi museum-museum di Yogyakarta. Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia sekitar Maret 2020, banyak museum yang tutup karena keharusan stay at home. Namun begitu, ada pula museum yang tetap buka dengan menerapkan protokol kesehatan seperti Museum Sonobudoyo.

Geliat museum di Kota Gudeg mulai kembali saat memasuki Oktober-November 2020, di mana mulai banyak museum yang kembali beroperasional seperti biasa, tentunya dengan menggunakan protokol kesehatan.

Nah kini pertanyaannya, apakah ada rasa rindu di hati masyarakat setelah tidak berkunjung ke museum sekian lama? Atau malah “Tutup atau enggak tutup sama saja?”

Hal tersebut menjadi tantangan bagi pengelola museum untuk selalu ada di hati masyarakat, seperti tagline “Salam Sahabat Museum, Museum di Hatiku”. Apalagi, untuk menciptakan rasa rindu tentunya harus ada perasaan senang di hati masyarakat.

Demikian yang diutarakan Dr Ayu Helena dalam Seminar Series Kepariwisataan, Selasa (15/12), yang digelar Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yang bertajuk "Museum di Yogyakarta: Masalah Promosi dan Solusinya".

Selain menghadirkan Dr Ayu Helena Cornellia, seminar ini mengundang Prof John Soeprihanto sebagai pembahas dan dimoderatori oleh Hendrie Adji Kusworo.

Dituturkan Ayu Helena, untuk menciptakan rasa senang bagi pengunjung, para pengelola museum harus memahami teknik dan strategi Komunikasi Pemasaran yang merupakan salah satu bidang ilmu dalam Pemasaran secara umum

Harus ada To Do, To See, To Buy, dan To Experience. Poin terakhir menjadi hal yang sangat berkesan bagi milenial yang merupakan target pasar terbesar di Indonesia saat ini.

Menurut Ayu Helena Cornellia, dalam sebuah studi yang dilakukan Alvara Research Center (alvara-strategic.com), dikemukakan bahwa pada 2020 ini milenial adalah “The Rising Market” dan jumlah millenials saat ini mendominasi market. Hal ini akan terus berlanjut kemungkinan sampai sekitar 2035.

Berdasarkan hal tersebut, museum sebagai destinasi pariwisata harus berbenah untuk memenuhi hal hal yang disenangi oleh generasi milenial, begitu pula generasi setelahnya. Sebut saja Generasi Z atau Generasi Alpha.

Dalam studi tersebut juga ditemukan 9 perilaku utama generasi milenial Indonesia. Yaitu kecanduan internet, loyalitas rendah, cashless, kerja cerdas dan cepat, multitasking, suka jalan jalan, cuek dengan politik, suka berbagi, dan yang terakhir kepemilikan terhadap barang-barang yang rendah.

Ayu Helena kemudian menambahkan dengan mengutip riset dari Jasmine Rahma Amalia (2020) mahasiswi Universitas Pertamina yang menyampaikan alasan kenapa Generasi Millenial Emoh ke Museum adalah karena kurangnya interaksi yang ada di Museum, serta kurang proaktif dalam mengajak masyarakat untuk ke museum.

Karena itu, saat ini penting bagi museum untuk meningkatkan minat kunjungan masyarakat melalui unggahan informasi dan aktivitas di media sosial serta menguatkan electronic word of mouth (E-WOM).

Pembicara juga menekankan media sosial merupakan salah satu aspek penting dalam Integrated Marketing Communication (IMC) atau Komunikasi Pemasaran yang terIntegratif.

Dalam paparannya dengan mengutip disertasinya yang berjudul “Model Pemasaran Museum: Tantangan dan Kesempatan Berkembang di Era Digital” (Cornellia, 2018) dikemukakan bahwa media sosial merupakan salah satu hal penting yang harus direncanakan dan diterapkan secara konsisten dan persisten.

Hal ini tentunya harus diimbangi dengan suasana nyata di dalam museum sehingga strategi komunikasi pemasaran harus diimbangi dengan produk, organisasi/SDM serta menyesuaikan dengan keijakan pemerintah.

Belajar dari krisis virus Corona 19 di era Industry 4.0 ini, diharapkan akan ada lesson learnt ke depannya yaitu mempersiapkan business agility yaitu kemampuan untuk berpikir dan memahami keadaan dengan cepat, kolaborasi yang konstan dan iterasi berkelanjutan. Selain itu Resilience atau sikap yang menunjukkan daya tahan dan tahan banting terhadap tekanan perlu untuk terus diupayakan.

Persaingan dengan destinasi atau atraksi pariwisata lain akan terus muncul apalagi di era disrupsi teknologi ini. Sehingga Museum perlu memiliki “Brand Standard” sendiri untuk selalu ada di hati.

Terakhir, Ayu Helena memberikan tips dalam promosi museumm yaitu:
1. Mengaktifkan dan meningkatkan media sosial.
2. Mengaktifkan dan meningkatkan traffic website.
3. Mengadakan special events – online dan offline.
4. Perlunya advertising dan kegiatan Public Relations,
5. Melibatkan para millenial.

Senada dengan Ayu Helena, John Soeprihanto menyampaikan, untuk dapat bertahan dan berkembang di era digital dan pandemi Covid-19 serta mentargetkan milenial, ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan oleh museum.

Yaitu mengembangkan media sosial, Memiliki SDM yang mumpuni di bidang PR/Marketing, product & service yang menciptakan Guest Experience/Parcipatory, dan sering mengadakan interactive event online atau offline 1 bulan 1 kali.

Soeprihanto dan Ayu Helena sama-sama setuju untuk menekankan perlunya diversifikasi event di museum sebagai upaya promosi baik pada millenial maupun generasi sesudahnya yang nantinya akan menjadi market baru. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA