Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keterpaparan Covid-19 Masih Tinggi, Guru Besar Komunikasi UI: Ada Yang Dilematis Untuk Membuka Informasi Pasien Terinfeksi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 16 Desember 2020, 13:49 WIB
Keterpaparan Covid-19 Masih Tinggi, Guru Besar Komunikasi UI: Ada Yang Dilematis Untuk Membuka Informasi Pasien Terinfeksi
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ibnu Hamad di acara Aspikom/Repro
rmol news logo Tingkat keterpaparan atau positivity rate Covid-19 di dalam negeri masih tinggi, yakni sebesar 18,68 persen. Angka ini memberikan gambaran, setiap 100 orang yang diperiksa ada sekitar 18 orang yang terpapar Covid-19.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Ibnu Hamad, menemukan adanya sebab komunikasi dari persoalan tersebut.

"Dilematic Communication Model (namanya). Karena seorang yang terpapar atau kerap mengambil keputusan terkait Covid-19 yang sifat penularannya tinggi itu kerap kali dilematis, apakah mau dibuka atau ditutup," ujar Ibnu dalam acara Jambore Nasional Komunikasi Nasional 2020 yang digelar Asosiasi Pendidikan Tinggi Komunikasi (Aspikom) secara virtual, Rabu (16/12).

Ibnu melihat dua unsur yang berada diposisi dilematis untuk membuka informasi mengenai keterpaparan Covid-19. Pertama adalah orang-orang yang terpapar alias pasien positif, dan kedua individu atau institusi yang merawat pasien.

"Misalnya si X terpapar Covid-19. Nah, pertanyaannya dia mau membuka diri atau menutup? Dilema dia. Kalau dia menutup mungkin privasi dia, tapi kalau dia membuka itu demi kepentingan orang lain," ungkap Ibnu.

"Pada level yang lebih luas, untuk orang lain yang menangani pasien Covid itu dia mendapat kepercayaan individual dari si pasien. Tapi apakah dilindungi serahasia-rahasianya demi kepentingan publik?. Ini kan dilema," sambungnya.

Dalam konteks ini, Ibnu menyebutkan dua model sikap komunikasi yang akan diambil pihak-pihak terkait keterpaparan Covid-19. Di antaranya, mengambil sikap etis egoistik (mementingkan pribadi) atau mengambil sikap etis utiliteristik (mendahulukan kepentingan sosial).

"Dengan model ini kita bisa menentukan sikap etis kita. Kalau menurut saya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan pancasilais lebih baik memilih yang utuiliteristik," ungkapnya.

Lebih lanjut, Ibnu mengajak kepada sleuruh pihak terutama pemerintah untuk menjadikan model komunikasi dilematik ini sebagai langkah pencegahan penularan Covid-19 yang semakin meluas.

Dia mengusulkan, bisa dibuat Clinical Studies untuk menganalisis riwayat komunikasi antara orang-orang yang terjangkit Covid-19 dengan tenaga medis yang menanganinya, menggunakan model historical social scientist dan forensik komunikasi.

"Unsur utamanya adalah keterbukaan informasi, terutama informasi yang menimpa orang yang terapar Covid-19. Itu menghadirkan dilema antara kepentingan individu dengan kepentingan publik," tutur Ibnu.

"Hendaknya kita jangan menjadi orang yang ditularkan dan menulari. Norma utama dalam situasi dilematis ini perlu keterbukaan informasi, supaya kita bisa memberikan perlakukan yang seharusnya. Baik untuk yang sudah terpapar atau yang pernah dekat dengan orang yang terpapar itu," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA