Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jadi Lokasi Favorit Wisatawan, Keraton Ratu Boko Belum Mampu Sejahterakan Masyarakat Sekitar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Rabu, 02 Desember 2020, 17:56 WIB
Jadi Lokasi Favorit Wisatawan, Keraton Ratu Boko Belum Mampu Sejahterakan Masyarakat Sekitar
Kawasan wisata Keraton Ratu Boko belum cukup memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar/Net
rmol news logo Bagi banyak wisatawan, kawasan Keraton Ratu Boko di timur Kota Yogyakarta bisa dibilang jadi lokasi favorit. Para wisatawan kerap berburu sunset yang memang kerap memberi pemandangan menakjubkan ketika berada di kawasan wisata ini.

Sayangnya, kawasan wisata dengan basis warisan budaya ini masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.

Padahal, seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2011, Pelestarian Cagar Budaya bertujuan melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Kemudian, mengutip dari Ngamsomsuke, Hwang, dan Huang (2011), indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata warisan budaya bisa dilihat dari empat elemen penting.

Yaitu adanya aktivitas ekonomi, adanya dukungan sosial, adanya manajemen situs warisan, dan lingkungan situs pariwisata warisan yang selaras. Keempat aspek ini belum sepenuhnya tercapai dalam pengelolaan kawasan wisata Keraton Ratu Boko.

Hal ini disampaikan alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, Dr Maria Tri Widayati, dalam Seminar Series Kepariwisataan, Selasa (1/12)dengan tema "Pariwisata Warisan Budaya Di Kawasan Keraton Ratu Boko, Ketimpangan Dalam Pengelolaan?".

Menurut dosen Politeknik “API” Yogyakarta ini, pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko belum maksimal untuk menghadirkan kesempatan berusaha dalam bidang pariwisata di masyarakat.

Kawasan Keraton Ratu Boko belum sepenuhnya menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang ada di sekitarnya untuk entas dari kemiskinan.

Faktanya, Kecamatan Prambanan saat ini memiliki 12,53% atau 2.315 KK miskin. Sebarannya, Sumberharjo (625 KK), Wukirharjo (185 KK), Gayamharjo (275 KK), Sambirejo (325 KK), Madurejo (530 KK), dan Bokoharjo (375 KK).

Padahal, realisasi keuangan pada 2019 menunjukkan laba setelah pajak pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton Ratu Boko, dan unit-unit usaha lainnya mencapai 100,71% dari target.

Nah, menurut Dr Maria, penyebab utama pengelolaan Candi Ratu Boko belum maksimal adalah terpusatnya pengelolaan oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Bahkan dapat dikatakan monopoli PT Taman Wisata Candi sangatlah besar.

Hal ini didapat Dr Maria melalui sejumlah interview dan focus group discussion dengan masyarakat.

Selanjutnya, permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penguasaan tanah di situs Kraton Ratu Boko, yaitu zona 1 yang seharusnya steril, masih ada pemukiman warga.

Kemudian masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan, dan petugas di pintu masuk tidak memberikan toleransi kepada warga.

Permasalahan semakin rumit karena ada tarik ulur kepentingan antara pengelola. Misalnya, pengelola berasal dari kementerian yang berbeda serta kepentingan yang berbeda pula.

PT TWC BPRB belum sepenuhnya melibatkan pemangku kepentingan lain dalam pengelolaan Taman Wisata Kraton Ratu Boko, terjadi ketidakseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan dan koordinasi ditingkat bawah/lapangan yang masih rendah.

Dr Maria menguraikan, BPCB tidak memperoleh pendapatan langsung dari PT Taman Wisata Kraton Ratu Boko, namun mendapatkan dana pengelolaan secara tidak langsung melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman sebesar Rp 500 juta/tahun untuk perlindungan dan pelestariannya.

Ironisnya, mulai 2015/2016, anggaran untuk pelestarian tersebut dihentikan. Jadi BPCB DIY tidak lagi mendapatkan dana tersebut dalam pelestarian Kawasan Keraton Ratu Boko.

Sedangkan gaji Direktur utama serta Direktur PT TWC BPRB berkisar sekitar Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per bulan.

Dr Maria juga menyampaikan pesan penting dari hasil risetnya di Candi Ratu Boko. Yaitu sebuah situs warisan budaya yang dikelola untuk pariwisata harus tetap bisa dilestarikan, dan harus bisa  memberikan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, dia berharap pengelola bisa membuka akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pariwisata, sehingga sama-sama mendapatkan benefit dari pariwisata dan bersama-sama pula menjaga agar situs tetap lestari.

Seminar Series Kepariwisataan ini diadakan oleh Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UGM. Prof Chafid Fandeli menjadi penanggap dalam seminar ini bersama Ari Setyaningsih dan Indung Panca Putra dari  Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Sementara Dr Yulia Arisnani Widyaningsih bertindak sebagai moderator.

Seminar ini diikuti oleh sekitar 80 orang, baik mahasiswa maupun masyarakat umum. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA