Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pahit Getir Jack, Tukang Parkir Pengelola Sekolah Gratis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Rabu, 11 November 2020, 01:51 WIB
Pahit Getir Jack, Tukang Parkir Pengelola Sekolah Gratis
Undang Suryaman bersma anak didiknya/RMOLJabar
rmol news logo Bermodal uang Rp 300,000, Undang Suryaman, merintis tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) gratis di tahun 2012.

Pahit getir dia jalani demi mewujudkan cita-cita mulianya memberi pendidikan pada anak-anak orang yang tidak mampu.

Meski hanya mengandalkan penghasilan Rp 60,000 per hari dari pekerjaanya sebagai petugas parkir di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), Jack sapaan akrabnya, tetap tabah melanjutkan apa yang dia mulai.  

"Dulu buat sekolah modalnya Rp300 ribu. Saya belikan Alquran, Iqra, buku gambar, dan pensil," ujar laki-laki kelahiran Garut tersebut, seperti diberitakan Kantor Berita RMOLJabar, Rabu (11/11).

Seiring waktu berjalan, Jack kemudian memindahkan PAUD gratisnya ke sebuah rumah di samping masjid. Ia membayar sewa rumah itu dari bantuan alumni Fikom Unpad yang saat itu terenyuh untuk membantu perjuangannya.

Berbagai kendala dia hadapi agar anak didiknya bisa tetap belajar. Bahkan sekolahnya sempat nebeng di rumah ibu mertuanya yang saat itu dihuni adik ipar serta saudaranya.

Lambat laun sekolahnya bisa berkembang berkat doa, ketekunan dan bantuan dari para alumni Fikom Unpad.

Warga sekitar yang dulunya sempat ada yang skeptis, perlahan memberikan dukungan karena kerjakeras dan ketekunan Jack dan isterinya berdampak positif pada anak-anak mereka.

Tak berpuas diri, Jack kemudian memanfaatkan sisa tenaganya untuk mengajar ngaji anak-anak remaja di lingkungan rumahnya. Pria kelahiran tahun 1976 itu  mengajar ngaji dari sore hari hingga malam, lima hari dalam seminggu.

Taman Pendidikan Al Quran (TPA) gratis itu pun kemudian berkembang. Murid TPA Raudlotul Jannah terus bertambah, mulai dari siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Jack mengajak tujuh orang dari Remaja Masjid sebagai guru ngajinya. Tiap siswa dikelompokkan sesuai tingkat kemahirannya dalam membaca kitab suci berhuruf Arab.

Jack menceritakan juga bagaiman para alumni Fikom Unpad yang bekerja di media dengan sukarela meliput aktivitasnya.

Menurutnya, dampak liputan serta undangan berbagai acara televisi membuat lebih banyak donatur ikut tergerak hatinya untuk membantu. Sumbangan yang terkumpulpun sebagian disisihkan untuk menyantuni 50 orang dhuafa, jompo, dan yatim piatu di daerah Rancaekek.

Setiap bulan ia rutin membagikan uang dan sembako. Total dengan murid TK dan TPA gratisnya, Jack ikut mengurangi beban hidup 200 orang lebih.

"Kalau dilihat secara angka, mustahil saya sanggup karena keluarga sendiri seperti ini. Tapi nggak tahu bagaimana selalu saja ada yang menitipkan," kata dia.

Sebelumnya ia mengaku tidak memiliki donatur tetap. Baru pada 2016 ia mengurus pembuatan Yayasan Nafilatul Huda untuk menunjang cita-citanya. Lembaga itu bergerak di sektor pendidikan, dakwah, dan sosial.

Sebelum ada yayasan, ia mengaku tidak pernah mencari donatur. Alasannya karena tidak berpengalaman membuat proposal dana.

"Sekarang belajar bikin proposal karena sudah ada yayasan. Dulu saya tidak mau bikin juga karena takut dikira untuk diri sendiri dan faktor kecemburuan sosial," katanya.

Mengalirnya donasi ikut membawa tantangan baru. Menjelang akhir 2016 lalu, sebuah perusahaan menyumbang dana Rp100 juta. Jumlah yang cukup untuk membangun rumahnya yang sederhana dan biaya hidup keluarganya untuk beberapa waktu.

"Donasi itu apresiasi sebuah perusahaan kepada perjuangan saya. Kalau bisa dibilang ini hadiah untuk saya," kata dia.

Namun, Jack lebih memilih menggunakan uang itu untuk membeli lahan seluas 10 tumbak atau 140 meter seharga Rp80 juta. Sisanya, ia gunakan untuk mendirikan bangunan untuk gedung sekolah TK dan TPA.

Bangunan itu dirancang agar bisa menampung 200 orang siswa TK dan TPA secara bergantian. Kelas pagi untuk TK dan TPA bagi siswa yang sekolahnya masuk siang, dan sebaliknya. Rencana besarnya, bangunan itu dirancang untuk tiga lantai.

Lantai bawah terdiri dari dua ruang kelas, ruang kantor, musala, kamar kecil, dan tempat wudu. Lantai dua sebagai aula kecil yang bisa dipasangi sekat untuk menjadi dua kelas, berikut tempat perpustakaan, sebuah kamar, dan gudang.

Sedangkan lantai paling atas menjadi atap sekaligus ruang terbuka berpagar untuk kegiatan olahraga anak TK maupun belajar menanam pohon di pot.

"Alhamdulillah semuanya terealisasi,” ujarnya.

Jack Tak Berhenti Membantu

Perjuangan Jack tak berhenti sampai disitu. Di awal tahun 2020 ini, dengan bantuan donaturnya Jack membangun “kobong” (asrama santri) di Pondok Pesantren Miftahus Salam, Kampung Salam, Desa Talagasari, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut.

Berbekal dana sumbangan donatur Rp 180 Juta, lahan kosong di pesantren seluas 140 meter persegi dibangun jadi empat kamar dan ruangan-ruangan lain.

“Alhamdulillah bisa menampung 12 santri,” kata Jack.

Empat bulan lalu, Jack melihat sebuah masjid di salah satu kampung dekat pesantren Miftahus Salam dalam kondisi memprihatinkan. Ia pun kembali menghimpun dana bantuan dari para donaturnya untuk membangun masjid tersebut.

Memaksimalkan lahan yang ada dan dana sumbangan sebesar Rp 100 juta, ia membangun masjid dengan ukuran 8x12 meter. Dua minggu dalam sebulan Jack berada di lokasi pembanguanan masjid dan pesantren.

“Sejak ada Covid-19 perkuliahan di Fikom kan via daring,” ujarnya.

Selama masa itu pula, Jack tak lagi bertugas di lapangan parkir Fikom. Ia punya banyak waktu untuk menunaikan amanah para donatur yang bantuannya untuk membangun “kobong” dan masjid.

“Sebenarnya sudah kangen sih kembali jadi petugas parkir, bertemu sama para dosen dan mahasiswa,” ungkapnya.

Masa Lalu Jack

Jack menceritakan masa lalunya. Lahir di Garut, pada tahun 1976. Anak ketiga dari tujuh bersaudara tersebut ternyata hanya tamat sekolah dasar.

Itu pula yang memotivasi pria berhati besar itu dalam mengembangkan sekolah gratis yang ia kelola. Jack ingin lebih banyak anak mendapatkan pendidikan lebih baik dari dirinya.

Sebagai anak seorang petani, Jack harus berjuang membantu orang tuanya sejak kecil. Ia merantau ke Jakarta dengan harapan bisa merubah nasib diri dan keluarganya.

Menginjak tahun 1995 Jack pindah ke Bandung membantu pamannya jadi tukang parkir di Fikom Unpad yang saat itu kampusnya masih di Sekeloa.

Setahun kemudian, Jack bersama pamannya pindah lahan parkir ke kampus Fikom Unpad di Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Penghasilannya digunakan untuk menghidupi keluarganya. Bersama istrinya, Yani Novita Sari dan empat orang anak, mereka menghuni rumah seluas tiga tumbak atau 42 meter persegi.

Ruang depan yang biasa dipakai sebagai tempat tidur mereka, menjadi salah satu ruang kelas untuk TK dan Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Kasur lipat baru bisa mereka gelar untuk tidur sekitar pukul 21.00 WIB, kecuali dua hari di akhir pekan saat libur sekolah.

Dengan kondisi pas-pasan itu, Jack memberanikan diri membuka sekolah gratis.
"Kalau saya harus jadi kaya dulu, kapan jadinya," ujarnya.

Kenekatan Jack muncul karena dia melihat anak-anak dari kalangan kurang mampu di kampungnya sulit masuk TK, terbentur biaya.

Meski banyak yang sudah dia lewati, semangatnya untuk membantu anak-anak orang tidak mampu tak pernah surut. Ia ingin memastikan setiap rupiah dari sumbangan donatur terlihat wujudnya dan terasa manfaatnya oleh orang yang membutuhkan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA