Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jatam Sulteng: Pembatalan Izin Pembuangan Tailing Harus Jadi Standar Perusahaan Demi Selamatkan Perairan Morowali

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Minggu, 04 Oktober 2020, 17:47 WIB
Jatam Sulteng: Pembatalan Izin Pembuangan Tailing Harus Jadi Standar Perusahaan Demi Selamatkan Perairan Morowali
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pembatalan permintaan izin pembuangan tailing ke Laut Morowali oleh perusahaan nikel untuk baterai kendaraan listrik Hua Pioneer adalah kabar baik bagi masyarakat pesisir di wilayah laut pesisir Kabupaten Morowali.

Diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, Nani Hendiarti, penarikan permintaan izin terkait kompleksitas dampak tailing di laut.

"Ini akan menyelamatkan perairan Morowali yang termasuk dalam coral triangle, yaitu kawasan perairan di barat Samudara Pasifik, termasuk Indonesia yang mengandung keragaman spesies yang sangat tinggi (hampir 600 spesies terumbu karang) dan menjadi penopang biota laut di sekitarnya," kata Kordinator Jatam Sulteng, Moh Taufik dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/10).

Sebab menurut Moh Taufik, setidaknya ada 3 ribu hektare terumbu karang di bawah Laut Morowali, khususnya ±710 hektare di Kecamatan Bahodopi. Tahun 2018, Morowali menjadi produsen perikanan laut tangkap tertinggi di Sulawesi tengah dengan 34,12 kiloton, atau setara Rp 678,9 miliar.

Ekositem sekaya ini, jelasnya, menjadi habitat bagi banyak biota laut, termasuk ikan yang ditangkap nelayan. Dari temuan Jatam Sulteng, lokasi rencana perairan pipah bawah laut untuk penempatan tailing di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali yang direncanakan PT Hua Pioneer Indonesia ini tidak diatur dalam Perda Sulteng tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWPK3) 10/2017, sebagaimana tertuang pada Pasal 31 ayat (3).

"Sehingga, memang tidak adalasan untuk melakukan rencana pembuangan limbah tailing yang akan membawa bencana bagi wilayah pesisir laut Morowali," lanjutnya.

Sejak industri berkembang, jelasnya, para nelayan harus melaut lebih jauh karena limbah PLTU dan tanah merah sisa bijih nikel dibuang ke laut tempat biasa mereka menangkap ikan. Akibatnya perlu lebih banyak biaya.

Senada dengan Jatam, Kordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menyatakan bahwa langkah pembatalan tersebut dapat menjadi contoh kepada perusahaan lain di Indonesia untuk perlindungan ekosistem laut Indonesia.

Sebab saat ini masih ada perusahan nikel masih menunggu izin pembuangan tailing ke laut di Pulau Obi dengan volume tailing yang akan dibuang rencananya sebesar 6 juta ton per tahun.

"Terdapat fenomena upwelling di lokasi rencana pembuangan tailing di perairan barat Pulau Obi, massa air laut naik ke permukaan sehingga memperbesar bahaya pembuangan tailing ke laut. Praktik ini melanggar PermenLHK 12/2018 yang melarang pembuangan tailing di perairan yang terdapat fenomena upwelling," jelasnya.

Masih sedikitnya penelitian laut dalam membuat dampak tailing terhadap ekosistem laut dalam belum diketahui dengan jelas. Rencana ini menurutnya harus mendapat perhatian khusus karena akan memberi citra kotor pada produk nikel baterai Indonesia di pasar global.

Yayasan Tanah Merdeka menyatakan, industri nikel diharapkan tidak mengejar kemenangan kompetitif dengan mengabaikan warga lokal dan kebaikan kehidupan para pekerja.

"Tiga pemimpin serikat buruh dipecat setelah mengorganisir aksi demonstrasi yang menuntut perbaikan kualitas kondisi kerja Agustus lalu. Mereka adalah Afdal (Serikat Pekerja Industri Morowali), Sahlun Saidi (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Morowali), dan Agus Salim (Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia Morowali)," tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA