Keputusan tersebut diambil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) karena tidak adanya awan kumulonimbus sebagai bibit awan hujan.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (PPIKHL) Wilayah Sumatera Ferdian Krisnanto mengatakan, tujuan penyemaian garam itu untuk menciptakan hujan. Namun, dalam beberapa hari belakangan ini awan kumulonimbus tidak terpantau.
“BMKG memprediksi awan kumulonimbus hanya terpantau di wilayah Muratara. Tapi sampai saat ini belum terpantau dan dalam dua hari belakangan ini pesawat untuk penyemaian juga sedang di servis,†katanya, dilansir dari
Kantor Berita RMOLSumsel, Jumat (28/8).
Ferdian menambahkan, penyemaian garam yang rencananya dilakukan selama 20 hari itu dipercepat hingga selama 10 hari saja. Hal itu dilakukan karena, terpantau tidak adanya potensi awan hujan.
“Penyemaian di langit Sumsel baru kita laksanakan 10 hari, yakni pada 12-24 Agustus 2020. Karena potensi awan hujan mengecil di Sumsel,†ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pihaknya telah menghabiskan sebanyak 21.400 kilogram garam selama 10 hari penyemaian itu. Dari jumlah garam yang disemai itu menghasilkan hujan sekitar 142 juta meter kubik.
“Dalam dua hari ini dan barusan prediksi BMKG juga mengatakan, potensi (awan hujan) itu mengecil, dengan puncak kemarau terjadi di September,†katanya.
Menurut Ferdian, TMC sendiri merupakan salah satu cara mengatasi kekeringan saat musim kemarau tiba.
Hanya saja, penyemaian garam di udara tidak selalu berhasil. Pihaknya mengaku tidak ingin mengklaim kuasa Tuhan dalam memancing hujan buatan itu.
“Kalau pantauan dari lapangan, kondisi air memang saat ini mengering dan memang cepat berkurangnya karena tidak ada hujan lagi,†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: