Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kekerasan Terhadap Anak Meningkat Di Masa Pandemik, Pemerintah Harus Optimalkan Sistem Perlindungan Sosial

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 30 Juli 2020, 17:44 WIB
Kekerasan Terhadap Anak Meningkat Di Masa Pandemik, Pemerintah Harus Optimalkan Sistem Perlindungan Sosial
Ilustrasi/Net
rmol news logo Di masa pandemik Covid-19 ini, tak hanya kasus positif saja yang terus bertambah. Kasus kekerasan terhadap anak pun ikut meningkat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Contoh terbaru adalah kasus pelecehan seksual yang dialami NV (14) asal Lampung oleh pamannya dan petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) beberapa waktu lalu yang sempat menyita perhatian publik.

Ironisnya, korban yang dititipkan di lembaga yang menaungi anak dan perempuan dari berbagai kasus kekerasan maupun diskriminasi justru mengalami kembali mengalami pelecehan.

Bisa dibilang, kasus NV ini hanya puncak gunung es dari kasus-kasus serupa di tanah air. Terlebih pada masa pandemik saat ini, risiko anak mengalami kekerasan justru semakin tinggi.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak Januari hingga 30 Juli 2020 terdapat 2.071 kasus kekerasan yang menimpa korban dengan usia 0-12 tahun.

Di samping itu, terdapat 2.761 kasus kekerasan yang dialami korban anak remaja usia 13-17 tahun. Data tersebut juga menyebutkan terdapat 911 kasus yang pelakunya merupakan orang tua dari korban, dan 511 kasus yang pelakunya merupakan keluarga/saudara.

“Pada masa pandemik, banyak anak akhirnya tidak bertemu secara tatap muka dengan para maupun orang dewasa lainnya yang biasanya akan menaruh perhatian terhadap kondisi kesejahteraan mereka. Di sisi lain, pandemik tengah menciptakan kondisi bagi tingginya kekerasan terhadap anak dan pada saat yang sama, banyak kasus tak tertangani dengan baik,” ungkap peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Nopitri Wahyuni, melalui keterangannya, Kamis (30/7).

Ditambahkan Nopitri, setiap daerah di Indonesia memiliki tingkat kerentanan terhadap risiko kekerasan anak yang berbeda. Berdasarkan provinsi, terdapat 4 provinsi dengan jumlah korban kekerasan terhadap anak tertinggi.

Provinsi Jawa Tengah menempati angka tertinggi dengan angka 483 korban anak, diikuti Provinsi Jawa Timur dengan 460 korban anak, Sulawesi Selatan dengan 359 korban anak, dan Jawa Barat dengan 327 korban anak.

Tingginya kasus di daerah-daerah tersebut juga bisa dilihat dari aspek sosio-ekonomi yang beragam. Terutama pada masa pandemik yang juga menimbulkan momok bagi tingkat kesejahteraan pada anak-anak.  

“Kecemasan yang dirasakan menyoal risiko tercerabutnya kesehatan fisik, pendidikan jarak jauh, maupun penurunan kesejahteraan ekonomi membuat anak amat rentan terhadap risiko kekerasan. Apalagi, pada situasi rumah tangga yang mengalami disfungsi, baik telah terpapar kekerasan dalam rumah tangga, orang tua pemakai obat-obatan terlarang maupun masalah kesehatan jiwa di dalam rumah tangga, risiko kekerasan tersebut akan semakin tinggi,” tambah Nopitri.

Dalam konteks keluarga yang memiliki kerentanan sosio-ekonomi tinggi, mereka pun memiliki strategi kemampuan beradaptasi yang rendah. Selain disfungsi keluarga yang sebelumnya telah disebutkan, tekanan ekonomi, permasalahan utang dan perilaku lainnya ikut menyebabkan kekerasan terhadap anak.

Menurut Nopitri, anak akan rentan tereksploitasi dan mengalami pemaksaan perkawinan sebagai alat tukar terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi. Anak perempuan, terutama, pada akhirnya harus melepaskan kesempatan belajar mereka dan mengurusi keluarga.

Catatan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2020), terdapat kenaikan mencapai 24 ribu permohonan dispensasi perkawinan pada masa pandemik ini.

Kondisi di atas membutuhkan tindakan konkret dengan memaksimalkan pencegahan dan saluran pusat pengaduan bagi kasus kekerasan terhadap anak. Hal ini perlu ditingkatkan pada sisi kesadaran dan komunikasi mengenai layanan, baik pemberitaan rutin maupun upaya-upaya advokasi.

Bagi kasus-kasus kekerasan seksual, momentum ini juga tepat untuk mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dibutuhkan untuk melengkapi Undang-undang Perlindungan Anak, terutama terkait dengan jenis-jenis kekerasan seksual yang tidak termaktub dalam peraturan yang sudah ada.

Kemudian, tingginya kasus kekerasan terhadap anak pun harus direspons dengan memastikan penanganan kasus terintegrasi dengan respons layanan kesehatan dan rumah aman yang memadai.

Selain itu, akses layanan kesehatan dan rumah aman dibutuhkan bagi korban maupun penyintas kekerasan agar memperoleh pemulihan secara psikososial, terhindar dari ketidakstabilan dalam rumah tangga, maupun ancaman kehilangan tempat tinggal bagi penyintas melalui mekanisme subsidi dan program sosial lainnya.

“Kasus kekerasan terhadap anak juga mendesak pemerintah untuk mengoptimalkan sistem perlindungan sosial pada masa pandemik. Berbagai bentuk bantuan sosial protektif, baik berupa bantuan tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan), manfaat bagi penganggur (Kartu Prakerja) maupun program sosial lainnya dapat memampukan keluarga dalam skala sosio-ekonomi rumah tangga, agar dapat beradaptasi dengan krisis dan memitigasi ancaman krisis dalam jangka panjang,” tutup Nopitri. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA