Bima Arya mengatakan, Bogor tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya yang ada di dalam negeri. Apalagi Bogor sudah memiliki visi untuk menjadi
smart city (kota pintar),
haritage city (kota pusaka), dan
green city (kota hijau).
"Kira-kira begini analoginya, ibarat pasangan muda yang menikah, kemudian gaji suaminya 5 juta, istrinya tidak bekerja, kemudian pengeluarannya 6 juta. Jadi kurang 1 juta. Kemudian 1 juta itu dibantu oleh mertua (pemerintah pusat)," paparnya dalam diskusi virtual "Membaca Diplomasi Indonesia" pada Minggu (5/7).
"Banyak pasangan yang akhirnya berada di lingkungan itu aja, enggak bisa menjadi sejahtera, lebih baik. Pemerintah daerah banyak seperti itu," lanjutnya.
Menurut Bima Arya, hal tersebut menjadi gawat karena sulit bagi daerah untuk membangun infrastruktur.
"Ini gawat, kalau kita tidak (berinovasi),
we are going no where," tekannya.
Untuk itu, Bima Arya mengatakan, pemerintah Kota Bogor melakukan kolaborasi yang disebut dengan penta helix, antara pemerintah, birokrasi, entrepreneur, media, dan komunitas.
Selain itu, Kota Bogor juga saat ini gencar mencari jaringan internasional menggunakan
multi track diplomacy.
Misalnya bekerja sama dengan Kota Hiroshima di Jepang untuk penangulangan sampah, dengan kota di Australia untuk isu pengelolaan air, hingga bekerja sama dengan Kota Leiden di Belanda untuk mendapatkan informasi mengenai sejarah Bogor.
"Enam tahun saya menjadi walikota, menikmati jaringan internasional. Membumikan kemampuan diplomasi mengundang bantuan dan networking yang sifatnya jangka panjang," paparnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: