Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sebelum Covid-19 Muncul, Maskapai Penerbangan Indonesia Sudah Kelimpungan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Selasa, 12 Mei 2020, 18:02 WIB
Sebelum Covid-19 Muncul, Maskapai Penerbangan Indonesia Sudah Kelimpungan
Garuda Indonesia/Net
rmol news logo Sebelum pandemik Covid-19 muncul dan meluluhlantahkan industri penerbangan global, maskapai penerbangan Indonesia sudah telebih dulu terseok-seok.

Jika dilihat jauh ke belakang, industri penerbangan Indonesia pada tahun 2000-an mulai berkembang dengan berbagai kreatifitas dan inovasi model bisnis yang sedemikian rupa.

Dengan meningkatnya kebutuhan untuk bepergian dan banyaknya produksi pesawat serta maskapai penerbangan baru bermunculan, lalu terjadi fenomena low cost carrier atau tiket penerbangan murah.

Menurut Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia dan memicu persaingan yang tidak sehat.

"Pada era perang harga tarif tiket murah, kita melihat orang menikmati transportasi udara dengan biaya murah. Dampaknya terhadap bisnis, hotel, biro travel sangat tinggi. Petumbuhan penumpang terjadi fantastis yaitu 10 hingga 15 persen," ujar Chappy dalam diskusi virtual "Bagaimana Tata Kelola Penerbangan Nasional di Tengah Pandemik Covid-19?" pada Selasa (12/5).

Namun di saat era tersebut, ada beberapa hal yang tidak mendapatkan perhatian serius. Di anataranya adalah munculnya kesenjangan antara pertumbuhan penumpang dan pengelolaan infrastruktur serta penyiapan sumber daya manusia.

Pada saat itu, banyak bandara yang over capacity, sehingga pangkalan militer akhirnya digunaka untuk penerbangan sipil. Selain itu, muncul juga persoalan kekurangan pilot yang membuat untuk pertama kalinya, di Indonesia terhadap pilot asing.

Dan yang terburuk adalah, pada periode tersebut banyak kecelakaan udara yang terjadi.

"Karena banyak kecelakaan, Indonesia kemudian di-downgrade oleh Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat yang sangat berpengaruh dalam industri penerbangan," ujar Pendiri Pusat Air Power Indonesia tersebut.

"Indonesia dimasukan ke golongan negara-negara kategori 2, atau negara yang tidak memenuhi persyaratan safety regulation international," lanjutnya.

Sampai akhirnya, pemerinyah kemudian membuat peraturan pembatasan harga tarif tiket untuk menghindarkan persaingan tidak sehat tersebut. Itu yang membuat banyak maskapai pernerbangan gulung tikar.

"Pada satu ketika, jor joran harga tiket murah tidak bertahan lama. Terjadi titik kulminasi. Maskapai penerbangan sedikit, avtur naik, kurs dolar naik. Sehingga maskapai penerbangan tidak punya pilihan selain menaikan tiket," ujar KSAU periode 2002-2005 tersebut.

Pada dasarnya, Chappy mengatakan, maskapai bukan lah menaikan harga, melainkan mengembalikan kembali ke harga semula ketika belum terjadi persaingan.

Pasalnya, pengoperasian pesawat terbang sendiri cukup mahal, sementara margin keuntungan tipis. Kondisi juga diperparah dengan kenaikan harga avtur dan kurs dolar.

Seiring dengan kondisi tersebut, Garuda Indonesia pun mengalami kesulitan keuangan yang membuat manajemen flag carrier tersebut kerap gonta-ganti. Situasi yang sama pun terjadi pada maskapai swasta.

"Dalam kondisi yang seperti ini kemudian datanglah Covid-19," ujar Chappy.

"Kita bisa bayangkan di dunia internasional saja, Covid-19 memberikan ancaman yang buruk bagi maskapai bonafid sekalipun. Sementara keadaan kita yang tidak menguntungkan, berhadapan dengan Covid-19," lanjutnya.

"Jadi ini lah yang membuat Indonesia menghadapi Covid-19 dalam kondisi yang lebih buruk dengan negara lain," pungkas Chappy. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA