Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lima Catatan Fachrul Razi Terkait 14 Tahun Perdamaian Aceh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Kamis, 05 Desember 2019, 17:59 WIB
Lima Catatan Fachrul Razi Terkait 14 Tahun Perdamaian Aceh
Fachrul Razi/Net
rmol news logo Perdamaian Aceh yang telah berjalan 14 tahun telah membuktikan bahwa Bumi Serambi Mekah mengalami proses perubahan yang berjalan dengan damai dan pembangunan yang cepat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pada 4 Desember 2019 Aceh telah melewati 43 tahun peringatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai para pihak yang telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia menuju Aceh yang damai dalam bingkai NKRI.

"Peringatan milad GAM yang ke-43 pada 4 Desember 2019 menunjukkan begitu rakyat Aceh cinta akan perdamaian, dan komit dengan perdamaian dalam mewujudkan Aceh yang damai, sejahtera dan bermartabat dalam bingkai NKRI," kata anggota DPD RI asal Aceh Fachrul Razi, Kamis (5/12).

Menyingkapi Perdamaian Aceh ke-14 tahun dan peringatan GAM yang ke-43, masih terdapat beberapa persoalan yang belum selesai seperti butir perjanjian MoU Helsinki, dan persoalan dana Otsus Aceh yang akan berakhir pada tahun 2027, serta permasalahan Bendera Aceh yang belum selesai.

Oleh karena itu, Fachrul Razi yang juga Wakil Ketua Komite I DPD RI ini menyatakan lima sikap:

Pertama, peringatan 43 tahun Milad GAM pada 4 Desember 2019 dan usia Perdamaian Aceh 14 tahun merupakan momentum bersejarah bagi rakyat Aceh dalam menjaga perdamaian dan menunjukkan identitas lokal yang terus membuktikan komitmen dalam menjalankan dan menjaga perdamaian di Aceh.

"Oleh karena itu, kami meminta kepada pemerintah pusat untuk terus membangun kepercayaan, meningkatkan komitmen dalam mewujudkan perdamaian di Aceh dengan melaksanakan semua janji yang telah di tandatangani di MoU Helsinki," ujar Fachrul Razi.

Kedua, perdamaian abadi di Aceh yang telah ditandangani perjanjian damai MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan melahirkan UU Pemerintah Aceh, setidaknya terdapat 16 poin dalam UUPA masih bertentangan dengan MoU Helsinki.

Sementara 11 poin belum dilaksanakan sama sekali, sedangkan 26 poin sudah selesai seiring berakhirnya tugas AMM dan satu poin bidang penyelesaian perselisihan sesuai pasal 6 poin C MoU Helsinki. Artinya, baru 17 poin yang dilaksanakan sesuai dengan MoU Helsinki.

"Kami merekomendasikan agar UUPA direvisi sesuai dengan MoU Helsinki. Pemerintah Pusat tidak perlu curiga dan apriori dengan perjanjian damai ini karena telah membangun kepercayaan kedua belah pihak perdamaian abadi sehingga dapat terwujud melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia," tutur Fachrul Razi.

Ketiga, persoalan Dana Otsus Aceh yang akan berakhir pada tahun 2027, kami tegaskan perlu dilanjutkan selamanya. Keberlanjutan pelaksanaan Otsus harus didukung dengan evaluasi yang komprehensif yang dilakukan secara berkala dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) harus diarahkan untuk peningkatan kualitas SDM dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, tepat sasaran dan tepat kegunaan, seperti untuk pembangunan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, ekonomi dan kesejahteraan, dan pengembangan kelembagaan sosial-budaya masyarakat.

"Kami menilai pemanfaatan dan penggunaan DOKA harus akuntabel dan melibatkan masyarakat agar dapat diawasi bersama-sama," sebut Fachrul Razi.

Keempat, persoalan Bendera Aceh yang belum selesai, kami tegaskan bahwa Qanun Aceh Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh telah mendapat pengesahan oleh Gubernur dan DPR Aceh karena Aceh telah memiliki bendera dan lambang sendiri seperti yang tertera dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 246 dan Pasal 247 UUPA, sebagai turunan dari kesepahaman damai antara GAM dan RI atau yang sering disebut MoU Helsinky. Dengan telah disahkannya Qanun tersebut maka rakyat Aceh menganggap "Benar Aceh telah merdeka dalam Bingkai NKRI".

"Oleh karena itu kami mendesak agar Bendera Aceh sudah bisa diresmikan dan dikibarkan sebagai bendera lokal di Aceh bersamaan dengan dengan Bendera kebangsaan Bendera Merah Putih. Di sisi lain, pemerintah juga sudah memberikan sinyal positif terhadap penyelesaian masalah bendera untuk segera selesai," ujar Fachrul Razi.

Kelima, Fachrul Razi menyatakan sikap bahwa Perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki adalah penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Perjanjian ini melahirkan pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan menuju Aceh yang maju dan berhasil. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA