Sebelumnya, pemeran Naga Bonar itu terpilih sebagai formatur bersama Ilham Bintang, dan Manoj Punjabi. Mereka dipilih oleh peserta kongres dan diamanatkan untuk memilih ketua umum dan pengurus PPFI. Hanya dalam waktu tidak lebih dari 30 menit formatur secara mufakat menetapkan Deddy Mizwar sebagai ketua umum baru PPFI untuk priode 2019 - 2022. Dia menggantikan Firman Bintang yang sebelumnya memimpin PPFI selama dua priode (2012-2015 dan 2015-2018).
Deddy Mizwar menakhodai PPFI didampingi oleh Sekjen Zairin Zein. Adapun pengurus lain, masing-masing ketua bidang produksi Judith J Dipodiputro, ketua bidang peredaran Manoj Punjabi, ketua bidang hubungan luar negeri Anrit Punjabi dan ketua bidang organisasi Wina Armada Sukardi.
Sidang kongres yang dipimpin Ilham Bintang berlangsung lancar, hanya memakan waktu sekitar dua jam, termasuk untuk rapat formatur.
Dalam kongres terpilih pula lima anggota Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO), masing-masing Firman Bintang sebagai ketua dan anggota Ilham Bintang, Harry Simon, Adisurya Abdy dan Sofian Saleh.
Dalam sambutan pertama setelah terpilih sebagai ketua umum PPFI, Deddy Mizwar menegaskan akan mengajak semua pihak yang terlibat dalam perfilman ikut berperan aktif nemajukan perfilman Nasional.
“Karena tantangan ke depan dunia perfilman Indonesia sangat besar,†katanya.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu sejak remaja bergelut dengan dunia film. Diawal sebagai aktor, antara lain berperan sebagai Nagabonar dalam film berjudul sama. Peraih banyak Piala Citra Aktor Terbaik FFI itu boleh dikatakan sosok film Indonesia paling lengkap. Kelak, ia juga menyutradarai banyak film, hasil produksi perusahaan filmnya sendiri: Demi Gisela Film.
Kini di atas pundaknya diletakkan paling sedikit tiga amanah para produser film Indonesia. Pertama, mengupayakan seluruh film Nasional mendapatkan kesempatan sama ditayangkan di bioskop, sesuai amanah UU Perfilman No 33/1999.
Yang kedua, keringanan pajak tontonan yang tidak hanya berlaku di Jakarta, tetapi di seluruh wilayah edar atau kota kunci pemutaran film Indonesia di Tanah Air. Harapan ketiga, revisi UU Perfilman yang lebih berpihak pada film-film Nasional.
Dalam laporan pertanggungjawaban Firman Bintang memang disebutkan masih banyak produser film yang menderita kerugian karena filmnya tidak mendapat kesempatan tayang di bioskop. Kalau pun dapat, namun jumlah layarnya hanya sedikit.
“Sehingga tidak memungkinkan mereka kembali modal dan merencanakan produksi film kembali,†kata Firman.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: