Molornya pengambilalihan wewenang FIR diduga karena terdapat perbedaan pandangan mengenai FIR itu sendiri dari kementerian-kementerian terkait.
Pernyataan Kepala Sub Dinas (Kasubdis) Hukum Dirgantara Dinas Hukum Angkatan Udara (Diskumau) Kolonel Penerbang (Pnb) Supri Abu seolah mendukung argumentasi tersebut. Dia mengatakan bahwa pengambilalihan FIR lamban karena kebijakan pemerintah.
"Ini masalah kebijakan pemerintah dan dari awal kalau saya mengatakan bahwa FIR itu tidak hanya masalah keselamatan, tapi juga kedaulatan. Nah Kementerian Luar Negeri termasuk juga Kementerian Perhubungan menganggap sebaliknya," ujar Kolonel Supri kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (10/10).
Menurut Kolonel Supri, dengan adanya pemahaman bahwa FIR hanya persoalan keselamatan penerbangan, Singapura menjadi memiliki
bargaining position yang lebih kuat dengan pelayanannya yang lebih baik.
Namun, apabila pemahaman FIR adalah sebuah kedaulatan, maka tidak dapat diganggu gugat.
“Persoalan ini tidak akan berlarut-larut,†sambungnya.
Perbedaan pemahaman antar kementerian ini juga dapat dilihat dari poin-poin
framework atau kerangka kerja yang telah disetujui bersama pada 12 September 2019 lalu. Dalam kerangka kerja tersebut, terdapat dua prinsip mendasar yang harus diperhatikan.
Pertama mengenai pengakuan FIR yang hanya sebatas keselamatan dan efisiensi. Sedangkan kedua, Indonesia mengakui
military training area yang dilakukan oleh Singapura.
Menurut Kolonel Supri, kedua hal ini menjadi penting karena FIR tidak dapat dilepaskan dari kedaulatan dan perjanjian harus berangkat dari pemahaman untuk memperkuat kedaulatan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: