Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bupati Madina Dianggap Tak Peduli Dengan Kerusakan Jembatan Utama Batanggadis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/darmansyah-1'>DARMANSYAH</a>
LAPORAN: DARMANSYAH
  • Minggu, 06 Oktober 2019, 13:51 WIB
Bupati Madina Dianggap Tak Peduli Dengan Kerusakan Jembatan Utama Batanggadis
Istimewa
rmol news logo Sejak Oktober 2018 lalu, jembatan utama di atas Sungai Batanggadis, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Madina, Sumatera Utara, hanyut dibawa banjir bandang.

Akibatnya, masyarakat tujuh desa di seberang Batanggadis sudah setahun lebih menderita karena ketidakpedulian Bupati Madina untuk memperbaiki kerusakan jembatan tersebut.

Sejak itulah, kehidupan masyarakat di Desa Tambangan Jae, Tambangan Tonga, Tambangan Pasoman, Rao-rao Dolok, Rao-rao Lombang, Simangambat dan Panjaringan berubah total.

Sebab, keberadaan Jembatan Tambangan yang kini putus total itu sebagai penghubung utama menuju pusat kecamatan dan kabupaten.

Di tengah kesusahan ini, masyarakat membuat alat penyeberangan getek atau rakit selama lima bulan mulai Oktober hingga April 2019. Karena sudah tak tahan bergetek, masyarakat musyawarah membangun jembatan gantung sementara.

Beruntung, salah satu putra wilayah yang menjadi anggota DPRD Madina, mau mengeluarkan dana pribadinya untuk membuat jembatan gantung.

“Jembatan gantung atau rambin sepanjang 60 meter yang terbuat dari papan akhirnya ada. Kami bersyukur. Tidak bisa dilintasi mobil. Sepeda motor pun harus gantian melintas,” kata Ketua Panitia Pembangunan Rambin Tambangan, Cein Lubis kepada wartawan di Jakarta, Minggu (6/10).

Warga masyarakat di tujuh desa ini pun akhirnya mengandalkan jembatan gantung sejak April 2019 sebagai jalan penghubung utama.

“Kami kesulitan membawa hasil bumi dari kampung ke pusat kecamatan. Buah-buahan menjadi murah karena mahalnya biaya langsir dari desa ke pusat kecamatan,” jelas Cein.

Menurut warga Desa Tambangan Jae ini, biaya ojek pangkalan menjadi sangat mahal. Rp 10 ribu per sekali antar dengan jarak tempuh hanya 3 Km.

“Sementara biaya hasil getah hanya Rp 5 ribu per kg. Dua kilo getah untuk sekali jalan,” ungkapnya.

Mirisnya lagi, warga yang sakit tidak bisa lagi dibawa ke pusat kecamatan untuk berobat. Karena mobil yang tidak bisa melintas. Terpaksa memutar jauh atau berobat ke rumah sakit yang berada di ibu kota Kabupaten Madina yaitu Panyabungan.

Sementara, warga Desa Tambangan Jae, Ali Syahrin mengatakan, anak usia sekolah menjadi terlambat setiap hari karena tak ada angkot yang mau membawa mereka ke sekolah.

“Anak sekolah menjadi terlambat masuk karena harus jalan kaki. Banyak anak sekolah mulai SMP, SMA dan pesantren yang bersekolah di ibu kota kecamatan dan Panyabungan,” jelasnya.

Sebenarnya, tidak saja warga tujuh desa yang menderita. Namun warga di pusat kecamatan juga menderita. Sebab, tanah wakaf masyarakat di sana berada di seberang Sungai Batanggadis.

“Kerandanya terpaksa dilepas. Hanya diikat ke papan. Bahkan, mayat ini pun sempat dibawa pakai getek. Kasihan kita melihat mayat ini," kata Ali.

Disebabkan jembatan gantung yang bergoyang saat dilintasi, akibatnya warga hampir jatuh ke sungai. Tinggi jembatan dari atas sungai sekitar 10 meter, dan sungai Batanggadis ini termasuk kategori dalam dan deras di bawah jembatan gantung. Sehingga sangat berbahaya, terutama jika anak-anak atau perempuan yang jatuh ke sungai. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA