Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Metode Pesantren Di Lapas IIB Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Sabtu, 05 Oktober 2019, 15:20 WIB
Metode Pesantren Di Lapas IIB Cianjur: Masuk Napi, Keluar Jadi Da’i
WBP Lapas Cianjur belajar di Pesantren At Taubah/RMOL
rmol news logo Pesantren At Taubah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cianjur, Jawa Barat, menjadi tempat mondok narapidana muslim. Beberapa lulusan pesantren tersebut kini bahkan telah menjadi da’i.

Mengunjungi Masjid At Taubah di Lapas Kelas IIB Cianjur dan melongok beberapa blok di lantai atas dan bawah sebelah selatan masjid tersebut, suasananya memang sama sekali berbeda Lapas kebanyakan. Ini bukan suasana penjara, tapi suasana pesantren.

Berbeda dengan pesantren biasa, yang mondok di sini bukan masyarakat umum, tapi warga binaan pemasyarakatan (WBP), istilah lain untuk para tahanan dan narapidana.

Di sini, ratusan WBP tersebut dibagi dalam kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 sampai 20 orang.

Setiap kelompok itu belajar di beberapa blok yang disulap menjadi kelas yang dibatasi dengan triplek. Kelas tersebut tidak dilengkapi meja dan kursi. Mereka belajar sambil duduk di lantai beralaskan tikar.

Di luar blok, ada kelompok-kelompok lain yang belajar di masjid.  Ada yang belajar baca-tulis huruf Arab. Kelompok belajar membaca Alquran dan tajwid. Ada pula kelompok yang serius berdzikir.

Ada pula satu kelompok WBP lain yang berkerumun menyaksikan rekan mereka berwudlu dengan bimbingan asatidz alias ustadz. Usai wudlu, setiap tahanan mengangkat tangan dan berdoa.

"Ini kelompok yang mulai belajar shalat," terang Gumilar Budirahayu, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas IIB Cianjur, Sabtu (5/10).

Pesantren At Taubah sudah 7 tahun beroperasi, tepatnya sejak  9 Mei 2012. Seluruh santri adalah warga binaan pemasyarakatan Lapas Kelas IIB Cianjur yang beragama Islam.

Jumlahnya sekitar 95 persen dari 833 tahanan yang ada di Lapas IIB Cianjur. Sebagian besar tahanan adalah narapidana kasus narkoba, dengan masa hukuman antara tiga sampai 15 tahun.

"Mereka wajib mengikuti kegiatan pesantren. Namun, namanya juga manusia, selalu saja ada yang malas dan membandel. Tapi, petugas kami tak pernah bosan mengingatkan," ujar Gumilar.

Gumilar bercerita, penggunaan metode pesantren untuk membina para WBP di Lapas Kelas IIB Cianjur dimulai sekitar tahun 2010, saat Lapas itu dipimpin Sahat Philip Parapat.

Saat itu, Philip mendatangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur, mengutarakan keinginannya menggunakan metode pesantren untuk membina tahanan.

"MUI Kabupaten Cianjur merespons positif gagasan Pak Philip, pemeluk Katolik yang taat itu." ujar Kalapas Cianjur.

MUI Cianjur menugaskan Kiai Totoy Muchtar Ghozali sebagai pengajar yang ditempatkan di Lapas Kelas II B Cianjur. Selain mengajar, Kiai yang akrab dipanggil WBP dengan sebutan Mama Lapas, juga mempelajari kemungkinan mendirikan pesantren di lapas.

Setelah setahun lebih mengajar, Kiai Totoy melapor ke MUI Cianjur bahwa membuat pesantren di Lapas Kelas IIB Cianjur sangat memungkinkan. Mendapat persetujuan, ia kemudian mulai mempersiapkan pendirian pesantren, membangun masjid, dan merekrut tenaga pengajar.

Menurut rekan sesama perintis pesantren, Haji Sopandi, tidak ada honor, gaji, atau bayaran untuk para asatidz. Menurut pensiunan polisi berpangkat Ipda 65 tahun itu, mengatakan MUI Cianjur hanya memberikan uang transport Rp 300 ribu per bulan.

"Itu pun tidak setiap bulan dibayarkan. Bahkan sampai saat ini kami telah lima bulan belum menerima uang transport," kata Sopandi.

Sementara Lapas Kelas IIB Cianjur juga tidak memberikan honor, kepada sekitar 36 orang  asatidz  yang mengajar di pesantren itu karena ketiadaan anggaran.  Para asatidz itu berasal dari beberapa pesantren di seluruh Cianjur.  

"Tapi, para asatidz telah berkomitmen bahwa mengajar di sini adalah bagian syiar agama. Mereka tak mengharap materi," terang Gumilar.

Seperti Herman Faqih, alumnus UIN Bandung yang mengajar di pesantren ini sejak 2012. Ia tidak pernah berniat meninggalkan Pesantren At Taubah, meski materi yang diterima tak sepadan dan harus piawai membagi waktu, karena ia juga  mengajar di sebuah madrasah di Cianjur.

Setelah tujuh tahun berjalan, Pesantern At Taubah Lapas Kelas IIB Cianjur relatif telah menghasilkan dua da’i. Neneng bin Cece dan Heri Suherlan. Kedua laki-laki itu kerap datang untuk mengajar para tahanan.

Neneng kini menjadi penceramah di kampungnya. Sedangkan Heri  yang memiliiki latar belakang pendidikan agama yang lebih baik, kini menjadi kepala sekolah di sebuah madrasah di Cianjur.

Pihak Lapas dan pengelola pesantren At Taubah terus berupaya meningkatkan kualitas belajar mengajar.

"Kami bertekad menjaga kelangsungan pesantren dan meningkatkan kualitasnya," ujar Gumilar.

Salah satu fasilitas yang tengah di bangun di pesantren ini adalah perpustakaan. Pihak Lapas telah membangun rak-rak buku. Sementara isinya, setiap petugas Lapas-yang berjumlah 90 orang, diwajibkan masing-masing menyumbang dua buku.

"Saya sendiri akan membeli 50 buku untuk mengisi perpustakaan," tandas Gumilar.

Beberapa waktu lalu, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami menyatakan pentingnya pendidikan pesantren yang berada di dalam Lapas untuk  peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama WBP.

Utami mengataka, pembinaan sisi relijius WBP memungkinkan pembinaan berjalan lebih baik dan lebih manusiawi, baik dari sisi mental maupun kepribadian.

Menyadari pentingnya sisi relijiusitas tersebut, Dirjen PAS telah mencanangkan program penghapusan buta aksara huruf Alquran bagi para tahanan dan napi Muslim sejak September 2018 lalu.

"Kita semua berharap bisa mencetak lebih banyak lagi insan-insan Ilahi yang lebih baik dan bertakwa," tandas Utami. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA