Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perebutkan Piala HB 2019, 500 Peserta Festival Budaya Jemparingan Beradu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ichsan-yuniarto-1'>ICHSAN YUNIARTO</a>
LAPORAN: ICHSAN YUNIARTO
  • Kamis, 26 September 2019, 20:58 WIB
Perebutkan Piala HB 2019, 500 Peserta Festival Budaya Jemparingan Beradu
Jemparingan Yogyakarta/RMOL
rmol news logo 500 peserta festival Budaya Jemparingan akan memperbutkan Piala Hamengkubuwono (HB) 2019.

Kegiatan tersebut bakal digelar di Alun-alun Kidul, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada Sabtu (28/9) sekitar pukul 07.00 WIB.

Humas Panitia Lomba Jemparingan, Dinas Pariwisata DIY Sri Susilo mengatakan, 500 peserta merupakan perwakilan anggota Paguyuban atau Paseduluran Jemparingan Jawa-Bali.

Dari 500 peserta tersebut nantinya akan dibagi kelompok. Kelompok pertama Gladhen Jemparingan Umum atau Dewasa (Putra/Putri). Kedua, Gladen Terbatas Jemparingan Gagrak Mataram (Jegulan) dan ketiga Gladen Terbatas Jemparingan Kelompok Anak-anak.

"Dengan kegiatan ini diharapkan Gladhen Jemparingan akan menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di DIY,” kata Sri Susilo lewat keterangan pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (26/9).

Sementara itu, Kordinator Panitia Pengarah KRT Radyo Wisraya mengatakan, Jemparingan merupakan olah raga panahan khas Kerajaan Mataram. Berbeda dari panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri, Jemparingan dilakukan dengan duduk bersila.

Hingga kini Jemparingan masih lestari, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Asal usul Jemparingan di Kesultanan Yogyakarta, atau juga dikenal sebagai Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), raja pertama Yogyakarta, mendorong segenap pengikut dan rakyatnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria.

Watak kesatria yang dimaksudkan adalah empat nilai yang harus disandang oleh warga Yogyakarta.

“Keempat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut adalah sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab,” papar Radyo.

Sehubungan dengan tujuan pembentukan watak sawiji itulah maka Jemparingan tampak sangat berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah untuk membidik target dengan tepat.

Pemanah Jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Busur diposisikan mendatar di hadapan perut sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.

Seiring dengan perkembangan zaman, lanjut Radyo, Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta pun berkembang. Hingga kini terdapat berbagai cara memanah ataupun bentuk sasaran yang dibidik.

"Namun semuanya tetap berpijak pada filosofi awal Jemparingan sebagai sarana latihan konsentrasi dan tidak meninggalkan cara memanah sambil duduk bersila," imbuhnya.

Berkaitan dengan upaya pelestarian Jemparingan gaya Mataram tersebut, menyelenggarakan Festival Wisata Budaya Invitasi Jemparingan Memperebutkan Piala HB Tahun 2019. Kegiatan terwujud berkat dukungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kampung Wisata Budaya Langenastran dan Paseduluran Jemparingan Langenastro. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA