Singgih menguraikan bahwa masalah ini dipicu karena ada kelebihan stok. Menurutnya harga ayam di beberapa sentra sempat menyentuh harga Rp 8 ribu per kg, padahal biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp 18.500 per kg. Sementara harga juag ayam di tingkat konsumen tetap tinggi yakni berkisar Rp 35 ribu per kg.
"Masyarakat sebagai konsumen akhirnya juga ikut dirugikan karena membeli dengan harga tinggi," tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (25/6).
Singgih mendesak pemerintag untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa secara nyata menyelesaikan masalah ini. Dia mengingatkan bahwa kebijakan di hilir itu tidak akan berjalan, jika kondisi dan kebijakan di hulu tidak dibenahi secara serius.
Hal ini mengacu pada instruksi dari kementerian terkait untuk memangkas jumlah anak ayam (day old chicken/DOC) selama periode 24 Juni hingga 23 Juli mendatang. Dalam hal ini, pelaku usaha diminta menarik 30 persen telur yang siap menetas.
"Semestinya ada peraturan menteri yang mendasari kebijakan itu supaya lebih efektif. Kalau seperti ini cuma memberi harapan palsu saja," sambungnya.
Sementara itu, pakar peternakan dari UGM, Bambang Suwignyo menilai data riil dan akurat mengenai pasokan dan permintaan ayam menjadi pangkal dari masalah ini.
Menurutnya, selama belum ada formulasi hitungan fix soal pasokan dan permintaan ayam, dan juga data DOC, maka masalah ini akan terus muncul.
“Sekarang jumlah ayam yang terjual setiap hari berapa? Data DOC berapa? Semua masih simpangsiur. Lalu kalau kita bicara bisnis ayam saling berkaitan dengan perusahaan-perusahaan besar, bukan hanya peternak kecil,†ujarnya.
Jika data sudah akurat, kata Bambang, maka masalah ini bisa diatasi mulai di hulu oleh kementerian terkait.
“Misal ini terkait pakan ayam, dan juga DOC, sehingga tidak berlebihan dan tidak kurang,†jelasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: