Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penerbitan IMB Reklamasi Clear, Yang Ribut Orang Nggak Ngerti

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Kamis, 20 Juni 2019, 16:44 WIB
Penerbitan IMB Reklamasi <i>Clear</i>, Yang Ribut Orang Nggak <i>Ngerti</i>
Haji Lulung/Net
rmol news logo Pengelolaan pulau reklamasi yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta dan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan dua hal yang berbeda. Tapi, keduanya memiliki dasar hukum yang kuat

Begitu kata mantan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Haji Lulung menanggapi kontroversi penerbitan IMB untuk Pulau C dan D, pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta oleh Gubernur DKI Anies Baswedan.

"Ada empat aturan perundang-undangan yang menjadi acuan pengelolaan pulau itu dan terbitnya IMB, yakni Perda, PP, Keppres dan Pergub," kata Lulung seperti diberitakan RMOLJakarta.

Empat regulasi tersebut adalah Keppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, PP 30/2005 tentang Peraturan Pelaksana UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung, Perda 8/1995 tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan Pergub 206/2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Menurut Lulung, Pergub 8/1995 merupakan pengejawantahan atas terbitnya Keppres 52/1995. Perda ini antara lain menetapkan bahwa tugas pengerjaan proyek reklamasi diserahkan kepada swasta.

"Atas dasar itu, maka dibuatkan perjanjian kerjasama (PKS) pada 1997, di mana dalam perjanjian itu disebutkan, untuk setiap pulau yang dibangun, swasta mendapat imbalan hak pemanfaatan lahan seluas 35 persen," ujar politisi PAN ini.

Namun, lanjut Lulung, dalam perjalanannya pengembang justru menguasai 100 persen, dan bahkan pulau ditutup untuk umum.

Bahkan, pelanggaran semakin fatal karena ternyata pembangunan pulau juga tidak didahului kajian dan persyaratan lain, termasuk analisis masalah dampak lingkungan (Amdal), sehingga menjadi kontroversi, bahkan polemik. Ini lantaran pembangunan itu ditengarai merusak lingkungan dan merugikan nelayan di pesisir Teluk Jakarta.

Selain itu, jika mengacu pada Keppres 52/1995, maka reklamasi dilakukan dengan menguruk pantai hingga sejauh 8 meter ke arah laut, bukan menguruk laut dan membuat pulau baru seperti yang dilakukan pengembang.

Lulung menegaskan, atas dasar pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka sudah selayaknya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menindak pengembang.

Dia mengapresiasi kebijakan Anies yang mencabut izin pembangunan 13 pulau yang hingga saat ini belum dilaksanakan. Sementara di satu sisi menugaskan PT Jakpro untuk mengelola tiga pulau dari empat pulau yang telah dibangun (Pulau C, D dan G). Termasuk menyerahkan satu pulau lainnya untuk dikelola pemerintah (Pulau N) karena dibangun PT Pelindo II.

Soal IMB Pulau C dan D yang telah diterbitkan Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP), Lulung mengatakan bahwa Pergub 206/2016 membuat Pulau C dan D telah memiliki RT/RW, namun belum dimasukkan dalam Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).

"Meski demikian, ada PP 36/2005 yang mengizinkan IMB itu diterbitkan," ujarnya.

Sebab, sambung Lulung, pada pasal 18 ayat 3 PP 36 dinyatakan bahwa untuk daerah yang belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTRKP), dan Rencana Bangunan dan Lingkungan (RTBL), pemerintah daerah dapat memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung pada daerah tersebut untuk jangka waktu sementara.

"Jadi, penerbitan IMB ini sebenarnya clear. Orang yang meributkannya adalah orang yang nggak ngerti persoalan atau memang sengaja ingin memojokkan Gubernur Anies Baswedan," pungkas Lulung. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA