Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KH Syafii Mufid: Bangsa Ini Sudah Terkotakkan, Perbanyak Baca Alquran

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 07 Mei 2019, 17:03 WIB
KH Syafii Mufid: Bangsa Ini Sudah Terkotakkan, Perbanyak Baca Alquran
Ahmad Syafii Mufid/Humas BNPT
rmol news logo Bulan Ramadan bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari emosi, kebencian dan perpecahan.

Karena Ramadan yang diperingati oleh seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia menjadi momentum terbaik bagi umat Islam membangun persaudaraan dan perdamaian.

Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta, KH. Ahmad Syafii Mufid mengajak kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat muslim pada khususnya di Indonesia agar menjadikan bulan Ramadan itu sebagai sarana untuk penyucian jiwa maupun penyucian pikiran dengan membuka, membaca, merenungkan dan memaknai kitab suci Alquran.

"Dengan merenungkan dan memaknai Alquran itu  mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk mengenai apa yang harus kita lakukan dalam kondisi bangsa semacam ini. Karena hidup ini adalah sebuah ujian untuk kita agar bisa beramal dan berbuat yang baik untuk negara dan bangsa ini,” ujar Syafii di Jakarta, Selasa (7/5).

Lebih lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEP) ini menjelaskan, dengan perbuatan yang baik itulah yang nantinya menjadi bekal sebagai manusia untuk kembali kepada Allah SWT.

"Sekarang ini kita muda, sebentar lagi menjadi tua, setelah tua kita meninggal. Nah kalau meninggal apa yang kita bawa kalau bukan amal perbuatan kita selama di dunia.  Kalau tidak ada yang kita bawa maka kita nanti akan menyesal. Itu dari sisi kegaiban," ujar peraih Doktoral dari International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden, Belanda ini.

Lalu dari sisi lahiriyah menurutnya, kalau manusia sudah makin tua, tidak punya lagi jabatan atau pengaruh lagi di masyarakat maka apa yang diperbuat selama ini dengan berbagai macam model misalkan berbuat jahat, tidak jujur, tidak adil, suka memfitnah atau berkata yang tidak benar, nanti penyesalannya akan luar biasa.

"Itu yang seringkali tidak disadari, tidak dipahami oleh orang-orang yang masih sehat, masih gagah, uangnya banyak dengan kekuasaan itu. Bahwa menjaga lisan dan juga perbuatan kepada sesama umat manusia itu juga merupakan sesuatu bekal yang akan kita bawa di akhirat nanti," ujarnya.

Makanya pasca pesta demokrasi, ia mengimbau kepada seluruh masyarakat agar dapat menjalin silaturahmi dengan tidak mengumbar emosi, kebencian, makian dan permusuhan.
 
"Bolehlah berkontestasi atau bermusabaqoh. Tetapi bermusabaqohlah atau berkontestasilah secara jujur, adil dengan menggunakan pikiran, hati dan perasaan secara baik, utuh, manusiawi dan berakhlakul karimah,” kata peraih Pascasarjana Antropologi dari Universitas Indonesia ini.

Ia mengamati dalam jejaring media sosialnya yang ternyata banyak sekali kontestasi itu diwarnai dengan penyebarluasan kampanye negatif atau kampanye hitam dari masing-masing pihak terhadap pihak lawannya. Dan itu terjadi selama delapan bulan lebih, dan bahkan memasuki bulan Ramadan ini pun masih ada. 

"Karena bangsa ini sudah terkotakkan. Orang yang netral, berada di tengah-tengah pihak dan berusaha bijaksana sudah ditarik ke sana ke sini untuk membuat pernyataan ini itu, dukungan kepada kelompok ini itu. Sehingga ketika terjadi pemilahan sosial semacam ini tentunya menjadi sulit siapa yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.  Tentunya ini problem serius buat bangsa kita saat ini,” katanya.

Dengan kondisi seperti itu tentunya agak sulit untuk mencari sosok figur yang netral yang bisa menjadi panutan masyarakat. Namun demikian menurutnya, tidak boleh putus asa.

"Apa yang telah kita lakukan selama ini tentunya kita banyak istiqhfar kepada Allah dan membaca Alquran sebagai petunjuk bagi manusia seluruhnya. Karena di dalam Quran itu disebutkan bukan untuk muslimin saja, tapi untuk seluruh manusia. Dan fungsinya untuk membentengi untuk membedakan mana yang hak dan mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah,” ujarnya.

Menurutnya, tadarus Alquran bagi umat muslim itu untuk menempatkan wahyu Allah di atas pikiran manusia.

"Jangan di balik wahyu Allah ditafsirkan menurut emosi, perasaan dan nafsu manusia. Kalau terbalik seperti itu yang terjadi adalah panas. Kalau panas itu terjadi maka yang terjadi adalah permusuhan antara yang satu dengan yang  lain,” ujar peneliti senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama ini.

Lalu kepada umat muslim yang sudah memiliki posisi-posisi yang baik itu menurutnya, hendaknya bulan Ramadan digunakan sebagai sarana untuk penyucian harta dengan ditebarkan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Karena dengan cara seperti itu maka akan muncul rasa cinta kasih dan kedamaian.

"Kalau cinta kasih dan kedamaian itu muncul dari para tokoh  atau para elite, maka masyarakat akan mengikuti dan kembali bahwa kita itu sebagai bangsa yang damai. Yang mana sebagai bangsa yang satu dengan yang lain, seperti dulu yaitu ketika ikrar bersama sebagai Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa lalu dilanjutkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk memakmurkan bangsa Indonesia," katanya.

Seperti masyarakat Islam di seluruh dunia, di Indonesia juga menyambut Ramadan dengan berbagai macam tradisi yang sangat luar biasa, indah dan penuh makna.

"Kalau di Semarang ada acara namanya Warak Ngendog dalam menyambut Ramadan," jelasnya.

Syafii menceritakan, Warak Ngendok itu adalah simbolisasi yang bermula dari ajaran para wali di zaman dahulu. Warak itu diibaratkan  makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/ persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab dan etnis Jawa sebagai upaya untuk menjaga kehormatan, perilakunya agar sesuai dengan akhlak yang mulia.

Di zaman Wali dulu, kalau manusia bisa menjaga perilaku dengan akhlak mulia, maka Warak itu akan Ngendok (bertelur) yang artinya berbuah dan bermanfaat.

"Nah Ramadan itu diibaratkan sebagai Warak yang Ngendok itu. Ini merupakan simbolisasi yang dibuat oleh para pendahulu kita tentang memaknai Ramadan dalam bentuk festival atau tradisi yang dibalut dengan kesenian. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang berziarah ke makam orang tua dengan mendoakan kedua orang tuanya. Itulah suasana yang menandai datangnya bulan suci Ramdan,” ujarya mengakhiri.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA