Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perusahaan Pembakar Hutan Tak Akan Kapok

Kalau Sekadar Diumumkan Tanpa Eksekusi

Senin, 01 April 2019, 11:58 WIB
Perusahaan Pembakar Hutan Tak Akan Kapok
Mohamad Nasir/Net
RMOL. Aparat penegak hukum dan pemerintah diminta bertin­dak tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah terbukti melakukan kejahatan pembakaran hutan. Mereka jangan dikasih angin. Harus dibikin jera.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Halitu disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan (Walhi Sumsel) Muhammad Hoirul Sobri kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia menyikapi data 11 peru­sahaan pembakar hutan yang diumumkan Presiden Jokowi dalam debat capres beberapa waktu lalu. Kesebelas perusa­haan itu didenda harus memba­yar dengan total Rp 18 triliun. Kesebelas perusahaan itu: PT Merbau Pelalawan Lestari, PT National Sago Prima, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Waringin Agro Jaya, PT Kallista Alam, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, PT Bumi Mekar Hijau, PT Waimusi Agroindah, PT Palmina Utama dan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi & PT Surya Panen Subur.

"Tidak akan ada kapok-ka­poknya jika hanya mengadili sekadarnya, lalu memperlambat proses eksekusinya. Malah lama-lama dilupakan, atau malah main belakang," tutur Hoirul Sobri.

Kata dia, persoalan kebakaran hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu merebak pada 2014. Kemudian, pada 2015 juga terjadi kejahatan serupa.

"Nah, inkracht-nya saja baru 2018 dan 2019. Lama dan lam­ban sekali proses hukumnya bukan? Memang proses huku­mnya sering dilakukan tertutup dan tidak transparan. Ngapain sih tertutup dan tidak transparan untuk pelaku kejahatan lingkun­gan seperti itu? Harus dibongkar semua nih," ujar Hoirul Sobri.

Untuk menimbulkan efek jera, Hoirul mengusulkan, pemerin­tah dan aparat hukum bertindak tegas. "Jangan hanya menjerat individu, seperti Direktur saja, tetapi sikat perusahaannya, atau koorporasinya sebagai lembaga yang melakukan kejahatan," bebernya.

Dia menyebut berbagai sanksi bisa dijatuhkan kepada perusa­haan pelaku kejahatan lingkun­gan, seperti sanksi administratif, sanksi pencabutan izin, sanksi pengurangan lahan, dan bahkan melarang beroperasi dan mem­pidanakan.

Dia memastikan, Walhi se­lalu mengawal dan menanyakan proses hukum yang dilakukan kepada sejumlah perusahaan yang melakukan kejahatan ling­kungan. Namun, setiap kali ditanyakan dan didesak, aparat hukum dan pemerintah seperti menutup diri dan tidak trans­paran.

Dia menegaskan, perusahaanperusak lingkungan, yang melakukan pencemaran dan keba­karan hutan harus ditindak dan dijatuhi sanksi seberat-beratnya. Sebab, kegiatan mereka itu su­dah mematikan rantai kehidupan masyarakat, alam serta kehidu­pan hewan-hewan yang sangat berguna bagi generasi manusia ke depan.

Selain perlu dijatuhi hukuman berat, perusahaan-perusahaan itu juga wajib melaksanakan reha­bilitasi lingkungan serta melak­sanakan perbaikan-perbaikan kembali kerusakan yang sudah terjadi.

Hoirul juga mempertanyakan dana kompensasi atau pemba­yaran kerugian yang diberikan perusahaan kepada Negara. Sebab, sampai saat ini misalnya, di wilayah Sumatera Selatan saja, belum terlihat adanya rehabili­tasi lingkungan.

Bahkan, lanjutnya, masyarakat kian kocar-kacir memenuhi kebutuhan hidupnya, dikarena­kan semakin sulitnya mencari penghidupan di lingkungan mereka yang sudah rusak parah dan kian gersang.

"Itu perlu dipertanyakan. Kemana uang kompensasi dan pembayaran kerugian itu dia­lokasikan? Sebab, uang seperti itu wajib masuk ke kas Negara. Kemudian, akan dipergunakan kembali melakukan rehabilitasi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah terdampak," ujarnya.

Seperti diketahui, sembilan ka­sus perusahaan pembakar hutan sudah incracht atau berkekua­tan tetap, di tingkat pengadi­lan negeri. Sementara dua di antaranya masih menunggu putusan banding di pengadilan tinggi. Satu perusahaan yang di­maksud adalah PT Kallista Alam di Nagan Raya yang bergerak di sektor industri minyak sawit. Perusahaan ini dituntut atas kebakaran lahan hutan gambut Rawa Tripa, Aceh, seluas seribu hektare yang terjadi pada 2012 dengan kompensasi sebesar Rp 366 miliar.

Kemudian PT Surya Panen Subur. Korporasi ini, yang juga bergerak di sektor sawit, terbukti membakar lahan seluas 1.183 hektar. Pemerintah menuntut kompensasi sebesar Rp 439 miliar pada 2012.

PT Jatim Jaya Perkasa milik Gama Grup juga terbukti meru­sak lingkungan dan bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas seribu hektare pada 2013. KLHK menang atas permohonan denda terhadap perusahaan sawit itu sebesar Rp 491 miliar.

Sementara PT Bumi Mekar Hijau milik grup Sinar Mas yang membakar lahan yang lebih luas, lebih dari 20 ribu hektare, ditun­tut kompensasi lebih rendah, hanya Rp 78,5 miliar.

Anak perusahaan Sampoerna Agro Tbk, National Sago Prima, juga ikut menyumbang keba­karan lahan pada 2014 seluas 3 ribu hektare. MAakhirnya mengabulkan tuntutan kompen­sasi Kementerian LHK sebesar Rp 1,07 triliun pada awal Januari lalu.

Pada karhutla 2015, Kementerian LHK memenangkan gu­gatan terhadap tiga perusahaan sawit, Ricky Kurniawan Putrapersada, Palmina Utama, dan Waringin Agro Jaya dengan total kompensasi lebih dari Rp 600 miliar.

Satu perusahaan lagi, PT Merbau Pelalawan Lestari, bahkan dituntut membayar denda sebesar Rp 16,2 triliun. Dibanding korporasi lain yang dihu­kum karena kejahatan karhutla, PT MPL dihukum atas kasus pembalakan liar di atas lahan konsesi seluas 5.590 hektare di Riau pada 2013. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA