Halitu disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan (Walhi Sumsel) Muhammad Hoirul Sobri kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia menyikapi data 11 peruÂsahaan pembakar hutan yang diumumkan Presiden Jokowi dalam debat capres beberapa waktu lalu. Kesebelas perusaÂhaan itu didenda harus membaÂyar dengan total Rp 18 triliun. Kesebelas perusahaan itu: PT Merbau Pelalawan Lestari, PT National Sago Prima, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Waringin Agro Jaya, PT Kallista Alam, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, PT Bumi Mekar Hijau, PT Waimusi Agroindah, PT Palmina Utama dan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi & PT Surya Panen Subur.
"Tidak akan ada kapok-kaÂpoknya jika hanya mengadili sekadarnya, lalu memperlambat proses eksekusinya. Malah lama-lama dilupakan, atau malah main belakang," tutur Hoirul Sobri.
Kata dia, persoalan kebakaran hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu merebak pada 2014. Kemudian, pada 2015 juga terjadi kejahatan serupa.
"Nah, inkracht-nya saja baru 2018 dan 2019. Lama dan lamÂban sekali proses hukumnya bukan? Memang proses hukuÂmnya sering dilakukan tertutup dan tidak transparan. Ngapain sih tertutup dan tidak transparan untuk pelaku kejahatan lingkunÂgan seperti itu? Harus dibongkar semua nih," ujar Hoirul Sobri.
Untuk menimbulkan efek jera, Hoirul mengusulkan, pemerinÂtah dan aparat hukum bertindak tegas. "Jangan hanya menjerat individu, seperti Direktur saja, tetapi sikat perusahaannya, atau koorporasinya sebagai lembaga yang melakukan kejahatan," bebernya.
Dia menyebut berbagai sanksi bisa dijatuhkan kepada perusaÂhaan pelaku kejahatan lingkunÂgan, seperti sanksi administratif, sanksi pencabutan izin, sanksi pengurangan lahan, dan bahkan melarang beroperasi dan memÂpidanakan.
Dia memastikan, Walhi seÂlalu mengawal dan menanyakan proses hukum yang dilakukan kepada sejumlah perusahaan yang melakukan kejahatan lingÂkungan. Namun, setiap kali ditanyakan dan didesak, aparat hukum dan pemerintah seperti menutup diri dan tidak transÂparan.
Dia menegaskan, perusahaanperusak lingkungan, yang melakukan pencemaran dan kebaÂkaran hutan harus ditindak dan dijatuhi sanksi seberat-beratnya. Sebab, kegiatan mereka itu suÂdah mematikan rantai kehidupan masyarakat, alam serta kehiduÂpan hewan-hewan yang sangat berguna bagi generasi manusia ke depan.
Selain perlu dijatuhi hukuman berat, perusahaan-perusahaan itu juga wajib melaksanakan rehaÂbilitasi lingkungan serta melakÂsanakan perbaikan-perbaikan kembali kerusakan yang sudah terjadi.
Hoirul juga mempertanyakan dana kompensasi atau pembaÂyaran kerugian yang diberikan perusahaan kepada Negara. Sebab, sampai saat ini misalnya, di wilayah Sumatera Selatan saja, belum terlihat adanya rehabiliÂtasi lingkungan.
Bahkan, lanjutnya, masyarakat kian kocar-kacir memenuhi kebutuhan hidupnya, dikarenaÂkan semakin sulitnya mencari penghidupan di lingkungan mereka yang sudah rusak parah dan kian gersang.
"Itu perlu dipertanyakan. Kemana uang kompensasi dan pembayaran kerugian itu diaÂlokasikan? Sebab, uang seperti itu wajib masuk ke kas Negara. Kemudian, akan dipergunakan kembali melakukan rehabilitasi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah terdampak," ujarnya.
Seperti diketahui, sembilan kaÂsus perusahaan pembakar hutan sudah incracht atau berkekuaÂtan tetap, di tingkat pengadiÂlan negeri. Sementara dua di antaranya masih menunggu putusan banding di pengadilan tinggi. Satu perusahaan yang diÂmaksud adalah PT Kallista Alam di Nagan Raya yang bergerak di sektor industri minyak sawit. Perusahaan ini dituntut atas kebakaran lahan hutan gambut Rawa Tripa, Aceh, seluas seribu hektare yang terjadi pada 2012 dengan kompensasi sebesar Rp 366 miliar.
Kemudian PT Surya Panen Subur. Korporasi ini, yang juga bergerak di sektor sawit, terbukti membakar lahan seluas 1.183 hektar. Pemerintah menuntut kompensasi sebesar Rp 439 miliar pada 2012.
PT Jatim Jaya Perkasa milik Gama Grup juga terbukti meruÂsak lingkungan dan bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas seribu hektare pada 2013. KLHK menang atas permohonan denda terhadap perusahaan sawit itu sebesar Rp 491 miliar.
Sementara PT Bumi Mekar Hijau milik grup Sinar Mas yang membakar lahan yang lebih luas, lebih dari 20 ribu hektare, ditunÂtut kompensasi lebih rendah, hanya Rp 78,5 miliar.
Anak perusahaan Sampoerna Agro Tbk, National Sago Prima, juga ikut menyumbang kebaÂkaran lahan pada 2014 seluas 3 ribu hektare. MAakhirnya mengabulkan tuntutan kompenÂsasi Kementerian LHK sebesar Rp 1,07 triliun pada awal Januari lalu.
Pada karhutla 2015, Kementerian LHK memenangkan guÂgatan terhadap tiga perusahaan sawit, Ricky Kurniawan Putrapersada, Palmina Utama, dan Waringin Agro Jaya dengan total kompensasi lebih dari Rp 600 miliar.
Satu perusahaan lagi, PT Merbau Pelalawan Lestari, bahkan dituntut membayar denda sebesar Rp 16,2 triliun. Dibanding korporasi lain yang dihuÂkum karena kejahatan karhutla, PT MPL dihukum atas kasus pembalakan liar di atas lahan konsesi seluas 5.590 hektare di Riau pada 2013.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: