Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Tepi Amu Darya, Di Ujung Kredibilitas Profesi…

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/arief-gunawan-5'>ARIEF GUNAWAN</a>
OLEH: ARIEF GUNAWAN
  • Sabtu, 22 Desember 2018, 16:21 WIB
Di Tepi Amu Darya, Di Ujung Kredibilitas Profesi…
Foto: RMOL
DI Sumatera orang menyebut sungai dengan bermacam nama.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Orang Batak Mandailing menyebutnya, Aek. Batak Karo, Lau. Orang Aceh, Krueng. Orang Lampung, Way. Dan banyak lagi…

Urang Sunda punya filosofi kuat yang berhubungan dengan sungai, yang tergambar dalam ungkapan: Ka Cai Jadi Saleuwi, Kadarat Jadi Salogak. Nama-nama tempat di Jawa Barat umumnya diawali kata Ci, asal kata cai, air, atau sungai.

Di Jawa Tengah dan Timur banyak nama tempat diawali kata Banyu, yang maknanya sama dengan arti di atas.

Di masa Mataram Baru pengelolaan irigasi sawah masuk dalam urusan birokrasi keraton, jabatan mantri air sangat penting karena itu diberikan gelar Tirto (atau Tirta dalam bahasa Sunda) yang berarti air.

Tirtayasa misalnya merupakan gelar kehormatan bagi Pangeran Surya Sultan Banten  yang terkenal karena kemampuannya meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru,  mengembangkan irigasi dan membuat sungai-sungai.

Begitu penting peran sungai bagi kehidupan dan bagi peradaban sehingga banyak sejarah bangsa-bangsa di dunia berkaitan dengan sungai.

Mesir dengan sungai Nil, Tiongkok dengan Yangtze, India dengan Gangga, Sriwijaya dengan  Musi, ---bahkan menurut legenda, nenek moyang orang Betawi  bermula dari Sungai Tirem di Tanjung Priok (sumber: Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi).

Amu Darya, nama sungai utama di Asia Tengah yang  jadi  judul buku reportase jurnalistik ini dilukiskan sebagai salah satu dari empat sungai dari Taman Surga. Bersama sebuah sungai lainnya, Syr Darya.

Nama Amu berasal dari kota Amul di Turkmenabat, Turkmenistan. Amu Darya merupakan sungai klasik yang berarti ‘’sungai baik’’.

Amu Darya jadi titik penting bagi akumulasi pengamatan Teguh Santosa selama meliput peristiwa perang di Afghanistan dari perbatasan Uzbekistan pada 17 tahun yang lalu (2001).

Teguh menempuh tugas ini bukan tanpa risiko, ketika awak redaksi lainnya di koran tempatnya bekerja waktu itu tidak menaruh banyak interest kepada peristiwa  perang yang  berkecamuk di Afghanistan dan lebih memilih meng-copy paste berita-berita perang tersebut dari kantor-kantor berita yang ada.

Waktu itu Teguh  lebih memilih untuk nyamperin secara langsung bukan sekedar untuk menuliskan laporan pandangan mata (apalagi laporan ala turisme yang isinya kekaguman melulu terhadap negeri yang dikunjungi), tetapi Teguh juga menyampaikan pandangan-pandangan pribadinya sebagai jurnalis mengenai kondisi sosiologis, kebudayaan, lokasi-lokasi bersejarah, serta ekses yang muncul akibat perang dari lokasi yang didatanginya.

Buku Amu Darya sendiri menginsyafkan saya kepada tiga hal. Pertama, wartawan liputan perang yang menuliskan pengalaman di medan perang ke dalam sebuah buku saat ini ternyata semakin langka.

Kedua, buku reportase berisi pengalaman meliput peristiwa-peristiwa penting ternyata merupakan aspek yang sangat berharga untuk seseorang yang benar-benar menjadikan kewartawanan sebagai pilihan profesi, karena menjadi bukti kredibilitas, keseriusan, kompetensi, sekaligus menunjukkan "jam terbang" dari profesi yang digeluti. Buku karya pribadi adalah mahkota bagi sang wartawan yang menuliskannya.

Ketiga, dengan menulis buku Teguh Santosa meneruskan tradisi kewartawanan yang sebenar-benarnya, sebagaimana dilakukan Oriana Fallaci, Bob Hering, Willem Oltman, Ernest Hemingway, Djamaludin Adinegoro,  Mochtar Lubis, Mahbub Djunaidi, Rosihan Anwar, termasuk Pramoedya Ananta Toer wartawan-sastrawan yang menulis sebuah buku roman perjuangan yang judulnya mirip-mirip Di Tepi Amu Darya, yaitu Di Tepi Kali Bekasi. [***]

Penulis adalah wartawan senior Rakyat Merdeka.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA