Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tentang Teguh Santosa Dan Karya 'Di Tepi Amu Darya'

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Jumat, 21 Desember 2018, 11:27 WIB
Tentang Teguh Santosa Dan Karya <i>'Di Tepi Amu Darya'</i>
Teguh Santosa, Effendi MS Simbolon, Ilham Bintang, Alto Labetubun, dan Ahmad Fuadi/RMOL
Pengantar Redaksi: Kamis (20/12) siang Penerbit Booknesia meluncurkan buku 'Di Tepi Amu Darya' karya Teguh Santosa di Press Room Nusantara III Gedung DPR-RI Senayan.

Acara dilanjutkan dengan diskusi dengan topik 'Ketika Wartawan Membingkai Konflik'. Para pembicara: DR Effendi MS Simbolon (anggota Komisi 1 DPR RI), Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat), Alto Labetubun (pengamat Timur Tengah), dan Ahmad Fuadi (novelis).

Berikut pengantar Ilham Bintang untuk buku tersebut.

SAYA termasuk orang yang senang meluapkan kegembiraan dan ikut bahagia setiap kali ada sejawat wartawan menulis buku. Buku adalah mahkota wartawan, kata ungkapan klasik.

Tetapi tidak banyak wartawan yang bisa menulis buku. Ini memang bukan perkara mudah. Banyak teman wartawan yang terlalu sibuk dalam karir jurnalistik sampai akhir hayat lupa menulis buku.

Selagi masih reporter sibuk dengan agenda pemberitaan. Meliput peristiwa, mengumpulkan bahan, kemudian menuliskannya. Satu hari bisa enam sampai tujuh berita. Memburu sendiri berita ke sana kemari sampai berdebu baru balik kantor. Dan, subuh baru tiba di rumah. Setiap hari.

Naik pangkat menjadi redaktur, kesibukan semakin menjadi. Menyita waktunya. Mengikis umurnya. Meskipun sebenarnya sudah lebih banyak di belakang meja. Memeloti naskah para reporter bawahannya yang umumnya masih mentah. Banyak bolongnya. Harus tambah informasi, background, diberi bobot.

Ia harus dandani semua berita itu supaya enak dibaca sesuai standar kelayakan sebuah berita boleh naik cetak atau disiarkan.

Posisi redaktur pelaksana, setingkat di atas redaktur, makin memerlukan konsentrasi tinggi. Menulis ulasan pun hampir tak punya waktu. Semua berita berbagai bidang liputan menjadi tanggung jawabnya. Hingga kemudian jadi pemimpin redaksi. Mengurus ke dalam dan keluar. Tambah repot. Waktu hampir tersedot habis. Tempat penampungan komplain pelbagai pihak.

Beruntung kalau tidak sampai menghadapi meja hijau karena digugat nara sumber yang merasa dirugikan.

Selesai tugas di puncak karier sebagai wartawan, masuk masa pensiun. Sudah menunggu tunggakan mengurus anak cucu. Habis waktu.

Ini yang menjelaskan luapan kegembiraan saya tiap kali ada sejawat menulis buku.

Lepas dari soal-soal tehnis di atas, menulis buku memang menuntut kecakapan khusus. Dan, itu tidak bisa tiba-tiba. Sudah harus ditanamkan sejak usia belia, sejak awal memburu berita di lapangan. Selain bakat. Talenta.

Dalam urusan ini almarhum Rosihan Anwar jagonya. Mahaguru wartawan Indonesia ini telaten mencatat pelbagai hal yang terkait dalam suatu peristiwa.

Dia sering mengajari muridnya untuk terlebih dahulu fokus mengidentifikasi duduk perkara sebuah peristiwa. Peristiwa diberitakan. Catatan yang terkait duduk perkara disusun menjadi ulasan. Catatan-catatan temuan sendiri itulah yang memperkaya tulisannya. Akan segera tampak kekayaan informasi dalam setiap tulisan Pak Rosihan.

Wartawan yang malas akan sulit melahirkan buku. Bahkan, dia bakal mati kutu tak bisa melahirkan berita jika tidak bertemu nara sumber yang bicara.

Ada sebagian kecakapan Pak Ros saya temukan pada Teguh Santosa. Sang penulis buku 'Di Tepi Amu Darya' ini. Tiga puluh tulisan dalam bukunya, terasa betul rekam jejak dia mencatat dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi terkait obyek yang ditulisnya.

Kumpulan tulisan di buku ini merupakan reportase perjalanan jurnalistiknya meliput perang di Afghanistan di tahun 2001. Pengarang novel 'The Old Man And The Sea' Ernest Hemingway memang mewanti-wanti. Tidak mungkin bisa melukiskan perang dengan baik tanpa penulisnya berada di medan pertempuran itu. Teguh melakukannya.

Dalam cerita yang ditulisnya usaha menerobos daerah yang sangat berbahaya menimbulkan keheranan otoritas yang ditemui dan dimintai izin oleh yang bersangkutan.

Membaca reportasenya yang terbagi dalam tiga puluh tulisan lepas seakan kita ikut dalam perjalanan jurnalistiknya yang mendebarkan itu.

Seharusnya begitulah wartawan. Begitulah mestinya reportase jurnalistik ditulis.

Kekuatan Imajinasi


Nove-novel wartawan dan pengarang Motinggo Boesye yang terkenal di tahun 70-an juga sangat memikat. Namun berbeda dengan Teguh dan Pak Rosihan. Boesye mengagumkan karena lebih banyak menyandarkan tulisannya pada kekuatan imajinasi.

Bayangkan Boesye bisa bercerita detil tentang Manila, ibukota Filipina yang menjadi setting salah satu novelnya. Padahal, dia belum pernah menginjak kota itu. "Saya cuma pelajari dari petanya," kata Boesye suatu kali.

Saya cukup mengenal Teguh sebagai wartawan muda yang memang energik. Dia tidak hanya wartawan. Melainkan orang yang banyak hal. Penyair, dosen, politikus, juga event organizer. Memiliki kelengkapan cukup untuk semua bidang yang dia geluti.

Imam Tarmizi

Memang tidak semua tulisan Teguh dalam buku ini mendebarkan. Ada juga yang lucu karena keluguannya. Karena saking bersemangatnya. Tulisan lucu itu diberi kehormatan tampil sebagai pembuka. Sebagai pengantar. Judulnya "Ternyata Dia Bukan Imam Tarmizi".

Teguh pernah salah mengidentifikasi sebuah patung yang dia sangka itu patung Imam Tarmizi. Dan, itu diketahuinya baru sekarang, setelah 17 tahun peristiwa itu berlalu. Tepatnya begini: 17 tahun dia merasa berfoto di depan patung Imam Tarmizi. Foto yang selama 17 tahun itu pula menjadi kebanggaannya.

"Bagi banyak orang ini persoalan sederhana. Tapi tidak begitu sederhana bagi saya. Saya pernah berkunjung ke Termez di Uzbekistan, dan melihat sebuah patung di salah satu taman kota. Untuk waktu yang agak lama, saya mengira itu adalah patung Imam Tarmizi, seorang ahli dan perawi Hadis Nabi Muhammad SAW yang hidup di abad ke-9 M," kisah Teguh.

Kenangan pada peristiwa itulah yang mendorongnya menulis dan menerbitkan buku ini.

Dilihat dari tahun peristiwanya yang terjadi tahun 2001, Teguh Santosa masih amat muda, duapuluhtahunan. Klop dengan wajahnya dengan rambut gondrong berpose takjub di depan patung "Imam Tarmizu".

Baru tadi saya singgung di awal tulisan. Memang begitulah umumnya wartawan muda pada awal berkarir. Menggebu-gebu. Nekad. Mendahulukan kecepatan daripada ketepatan. Kurang periksa. Tidak cek dan ricek.

Tapi Teguh ksatria. Menyegerakan ralat. Meski itu baru dilakukan 17 tahun kemudian. Maklum karena dia juga baru “ngeh.”

Selamat Teguh. Buku ini sangat layak dibaca pelbagai pihak. Terutama bagi komunitas wartawan dan mahasiswa komunikasi. Supaya berhati- hati jangan sampai mengalami jebakan batman, eh jebakan patung. Patung Imam Tarmizi. [***]


Wartawan Senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA