Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KEMELUT DI PILREK UNPAD

Mengukur Daya ‘Intervensi’ Dan Upaya Sang Menteri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Minggu, 14 Oktober 2018, 00:18 WIB
Mengukur Daya ‘Intervensi’ Dan Upaya Sang Menteri
Universitas Padjadjaran/Net
KEGADUHAN dalam proses Pemilihan Rektor (Pilrek) Universitas Padjadjaran (UNPAD) pada akhirnya membuat risih telinga Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir. Sebelumnya publik dikagetkan oleh munculnya surat dari mantan istri salah satu calon rektor (carek). Surat itu ditujukan ke Presiden Joko Widodo. Isinya membuat miris, perihal dugaan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) si carek.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Disisi lain, juga muncul ramainya aspirasi tokoh-tokoh lokal yang mendesak agar rektor berasal dari suku Sunda. Menteri Nasir merasa perlu angkat bicara.

Kamis (11/10) Nasir berkunjung ke Bandung (11/10). Menristekdikti  menyatakan akan mengevaluasi proses pemilihan rektor yang dijalankan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) UNPAD. Tampaknya Nasir ingin memastikan, apakah proses terpilihnya tiga orang carek dari delapan bakal calon telah sesuai dengan prosedur yang benar, ataukah justru terdapat kejanggalan.

Kepada wartawan, Nasir menjelaskan, bahwa jika ditemukan prosedur yang tidak benar, Kemenristekdikti tak segan membuka kemungkinan untuk mengulang pemilihan.

“Semua serba mungkin. Saya tidak bisa mengatakan (kemungkinan pemilihan ulang) itu. Kami teliti dulu, semua harus mengikuti prosedur,” katanya.

Tidak ada keterangan yang lebih rinci mengenai ‘prosedur yang tidak benar’ yang diungkapkan Nasir. Tapi, ia memberikan satu ‘clue’, yaitu pemeriksaan mendalam terhadap latar belakang carek.

Langkah evaluatif atas Pilrek UNPAD itu dilakukan dengan menggandeng lembaga-lembaga sohor seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BIN (Badan Intelijen Negara), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), dan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara).

Meski telah menggandeng berbagai lembaga berpengaruh, Nasir tetap mempersilakan publik untuk memberi masukan, selama disampaikan sesuai prosedur yang resmi. Ia barangkali hendak merespon berbagai aspirasi yang disampaikan oleh individu maupun kelompok selama proses Pilrek UNPAD.

Di luar isu-isu yang ramai disorot publik, khususnya terkait kasus dugaan pelanggaran moralitas maupun isu kesukuan atau SARA, Nasir mengingatkan bahwa ada satu hal penting yang selama ini terlupakan. Yakni, apakah carek yang telah dipilih oleh MWA itu ada yang terpapar radikalisme? Sebab, laporan dari berbagai lembaga menyatakan bahwa kampus-kampus besar di Indonesia telah menjadi lahan subur persemaian pandangan-pandangan yang mengajarkan intoleransi dan radikalisme. Sehingga, carek pun harus memiliki pandangan dan posisi yang jelas dalam menghadapi persoalan-persoalan tersebut.

“Jangan sampai kita mau menyelesaikan ini (intoleransi dan radikalisme - red), tetapi masalah dasar (pemeriksaan latar belakang carek - red) belum selesai,” tegasnya.

Kebijakan Menristekdikti untuk mengevaluasi Pilrek UNPAD tentu disikapi secara beragam oleh carek UNPAD dan publik Jawa Barat.

Pancasila Dan Intoleransi

‘Intervensi’ Menristekdikti untuk memastikan agar carek UNPAD tidak terpapar radikalisme, mungkin sebangun dengan perhatian banyak tokoh lokal mengenai pentingnya menyegarkan wacana kepancasilaan di kalangan masyarakat Jawa Barat.

Sebut saja, TB Hasanuddin, yang dikenal sebagai politisi DPP PDI Perjuangan. Pada saat maju sebagai salah satu calon gubernur Jabar lalu, purnawirawan TNI ini cukup vokal dalam memaparkan gagasan-gagasan mengenai hubungan Pancasila dan pembangunan manusia. Pada berbagai kesempatan kampanye dan debat kandidat, ia kerap mengangkat pembicaraan mengenai Pancasila.

Tiga hari sebelum kunjungan Menteri Nasir ke kota kembang, TB Hasanuddin terlihat antusias mendengarkan paparan visi misi calon rektor UNPAD di depan publik, yang diselenggarakan di kantor sebuah media massa lokal di Bandung (8/10). Ia memperhatikan dengan seksama paparan  tiga orang carek, yakni Dr. Aldrin Herwany (pakar ekonomi keuangan), Prof. Dr. Atip Latipulhayat (guru besar ilmu hukum), dan Prof. Dr. Obsatar Sinaga (ahli kejahatan internasional).

Kang TB, begitu politisi senior PDI Perjuangan itu kerap dipanggil, hadir sebagai salah satu ‘inohong’ (tokoh) Sunda dan Jabar. Acara itu merupakan rangkaian terakhir dari sekian banyak acara ‘konvensi’ dalam Pilrek UNPAD, sebelum ketiga kandidat memaparkan gagasan-gagasan finalnya pada tanggal 27 Oktober nanti di hadapan MWA. Pada hari itu pula, MWA (yang memiliki 15 suara) dan perwakilan pemerintah pusat atau Kemenristekdikti (yang memiliki 6 suara) akan bersidang untuk memilih seorang rektor definitif.

Wajah Kang TB tampak gundah saat mendengar paparan dari Prof. Dr. Atip Latipulhayat yang pada beberapa bagiannya mengandung ungkapan-ungkapan kritis terkait Pancasila dan NKRI. Bagi PDI Perjuangan yang saat ini kebetulan menjadi partai penguasa, Pancasila dan NKRI memang memiliki makna ‘sakral’ dan penting.

Kegundahan Kang TB sebagai kader PDI Perjuangan terhadap adanya kritik terbuka terhadap ideologi negara dalam pemaparan visi misi carek UNPAD, tentu dapat dipahami. Pancasila dan NKRI telah menjadi narasi yang sangat penting bagi pemerintah belakangan ini. Presiden Joko Widodo sendiri menginisiasi pendirian BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang dikepalai oleh Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang juga ketua partai yang menaungi Kang TB.
Bukan kebetulan jika Kang TB memandang penting kaitan antara Pancasila dan pembangunan manusia. Dalam beberapa tahun belakangan, Jawa Barat mendapatkan perhatian khusus dari publik nasional atas maraknya kasus intoleransi, yang dalam perspektif tertentu dianggap sebagai cermin memudarnya penghayatan dan pengamalan Pancasila.

Riset dari The Wahid Foundation, misalnya, menemukan bahwa pada tahun 2016, Jawa Barat menduduki peringkat pertama se-Indonesia dalam kuantitas kasus intoleransi. Ada 46 kasus berupa sweeping, demonstrasi, menentang kelompok yang dianggap menodai agama atau berbeda, serta penyerangan rumah ibadah pemeluk agama atau kelompok lain. Sementara itu, Setara Institute mencatat bahwa sepanjang tahun 2017 Jawa Barat juga menjadi pemuncak dalam deretan kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), dengan 29 peristiwa. Dalam temuan Setara, kasus-kasus itu melibatkan pelaku dari publik serta aparatus atau institusi penyelenggara negara.

Posisi UNPAD sebagai ikon kaum cendekiawan di Jawa Barat sangat strategis dalam memperkuat narasi kepancasilaan serta membendung intoleransi dan radikalisme. Karena itulah, pernyataan Menteri Nasir agar carek tidak terpapar radikalisme (sekaligus memiliki komitmen yang tinggi terhadap Pancasila dan NKRI) musti dipahami dalam konteks ini.
Tentu, indikasi apakah seorang carek terpapar radikalisme atau tidak, harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.  Sehingga, hasil evaluasi Menteri Nasir dapat diterima dengan lapang dada oleh semua pihak yang berkepentingan.

Meskipun pemeriksaan latar belakang carek itu terlihat normatif, hal ini mungkin bisa menjadi ‘batu sandungan’ bagi carek Atip. Guru besar ilmu hukum itu memiliki keterkaitan dengan organisasi ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) yang dinilai kontoversial oleh sebagian kalangan.

Di website www.annasindonesia.com, Atip bahkan tercatat sebagai Ketua Dewan Pakar dan ikut menandatangani deklarasi wadah ANNAS pada tahun 2014 lalu. Organisasi yang diketuai KH Athian Ali itu beberapa kali masuk dalam catatan Setara Institute. Riset Setara (2105), misalnya, menyebutkan ANNAS sebagai kelompok yang berada di belakang munculnya Surat Edaran dari Walikota Bogor yang melarang perayaan Asyura, sehingga dinilai mendiskriminasi warga syiah.

KDRT Dan ‘Desakan’ Ke MWA


Persoalan intoleransi dan radikalisme yang dilontarkan Menteri Nasir itu sedikit banyak ‘menyeimbangkan’ pertarungan isu yang beberapa waktu belakangan menghiasi media-media lokal di Bandung. Tak ketinggalan berbagai platform media sosial yang banyak digunakan civitas akademika UNPAD, juga meramaikan.

Jika sebelumnya isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membuat carek yang juga Wakil Ketua MWA Obsatar Sinaga berada dalam sorotan publik dan media, maka isu intoleransi ini kemungkinan dapat memindahkan sorotan yang ‘menyilaukan’ itu ke carek Atip. Tentu, seperti Obsatar yang memiliki kesempatan membela diri dalam soal dugaan KDRT, Atip juga dapat membela diri apabila isu intoleransi itu bila pada akhirnya ‘menyasar’ kepadanya.

Isu dugaan KDRT yang menerpa Obsatar sendiri tak lekas surut. Walau ia telah mengklarifikasinya melalui pengacara. Jum'at (12/10), sekumpulan ‘inohong’ Sunda yang tergabung dalam  Gempungan Warga Peduli UNPAD (GWPU) menemui MWA. Mereka mendesak MWA agar membentuk tim investigasi independen terkait dugaan kasus KDRT yang menerpa Obsatar Sinaga.

GWPU sendiri, diwakili advokat senior Dindin S Maolani mengaku sudah melakukan klarifikasi kepada mantan istri Obsatar yang bernama Erna, atas bukti KDRT berupa foto dan surat-surat terkait. Bukti-bukti tersebut, kata Dindin, perlu diuji oleh MWA.

Dalam dokumen yang banyak beredar di kalangan civitas akademika UNPAD, Obsatar diketahui pernah dilaporkan mantan istrinya itu ke polisi atas kasus dugaan KDRT. Sang mantan istri menulis surat kepada MWA, juga kepada Presiden Joko Widodo.

Dalam suratnya, Erna memohon agar kasus yang dialaminya dapat dijadikan pertimbangan dalam menilai rekam jejak carek UNPAD. Obsatar sendiri telah melakukan bantahan secara terbuka melalui putranya dan bahkan menunjuk pengacara untuk membantah tuduhan-tuduhan Erna dalam perspektif hukum positif. Meskipun klarifikasi telah dilakukan kubu Obsatar, isu KDRT bukannya mereda tapi malah justru semakin terangkat ke permukaan.

Pada Jum'at (28/9), bertempat di Gedung Indonesia menggugat, Bandung, sekelompok ‘inohong’ Sunda menggelar diskusi dan menyatakan keprihatinanya atas munculnya isu dugaan pelanggaran moralitas dalam Pilrek UNPAD. Kelompok yang antara lain berisikan Dindin S Maolani dan seniman Acil Darmawan Hardjakusumah (Acil Bimbo) itu menyerukan agar MWA memperhatikan laporan Erna secara serius. Lebih lanjut, para ‘inohong’ itu ‘menggugat’ MWA yang terdiri dari wakil-wakil senat guru besar, masyarakat, mahasiswa, alumni, dan tenaga kependidikan UNPAD agar bertanggungjawab atas lolosnya carek yang dinilai bermasalah.

“Kenapa yang seperti ini bisa lolos dan sampai hingar bingar?,” gugat Dindin yang juga alumni Fakultas Hukum UNPAD.

Acil, seniman yang merupakan anggota grup musik legendaris Bimbo, menambahkan, bahwa Pilrek UNPAD tak semestinya dipakai sebagai heurey (main-main). “Harus kita ingat, keberadaan institusi pendidikan UNPAD ini merupakan warisan dari para pendahulu tokoh Jawa Barat. Salah satunya, sebagai penjaga moral dan etika warga,” ujar Acil.

Walau lebih banyak membicarakan persoalan dugaan pelanggaran moralitas oleh salah satu carek UNPAD, pertemuan para 'inohong' itu tak dapat menutupi adanya aspirasi yang lebih politis di belakangnya. Acil secara blak-blakan menyatakan bahwa Rektor UNPAD harus menjadi kebanggaan masyarakat (suku) Sunda. “(Rektor) UNPAD mah kudu orang Sunda,” ujarnya.

Aspirasi para ‘inohong’ itu tentu menimbulkan pro dan kontra. Beberapa hari setelah pertemuan ‘Gempungan’ itu, guru besar emeritus Fakultas Hukum UNPAD, Prof. Romli Atmasasmita, membuat sebuah artikel di media lokal yang menyiratkan endorsement-nya pada putra daerah atau orang Sunda untuk menjadi rektor.

“Jika menilik sejarah, tentu tidak dapat disangkal di universitas manapun di nusantara menghendaki –jika tak dapat dikatakan menuntut- kehadiran seorang putra daerah sebagai pimpinan yang berasal dari daerah bersangkutan,” demikian tulis Romli.

Pendapat itu sekilas masuk akal. Namun jika diperiksa lebih jauh, klaim tersebut lemah. Karena, bahkan, di pergurun tinggi negeri tetangga UNPAD, yakni ITB (Institut Teknologi Bandung), isu putra daerah dalam hingar bingar pemilihan rektor tak pernah terjadi. Begitu pula di kampus-kampus besar Indonesia yang masuk dalam 500 besar dunia seperti UI (Universitas Indonesia) Depok maupun UGM (Universitas Gadjah Mada) Jogjakarta. Tercatat, ilmuwan dari beragam suku bangsa di Indonesia pernah menjadi rektor di ketiga kampus tersebut.

Uniknya, salah satu rektor legendaris UGM yang berlokasi di jantung kebudayaan masyarakat Jawa, yakni Jogjakarta, justru orang Sunda yang bernama Koesnadi Hardjasoemantri.

Nama almarhum Koesnadi masih sangat harum di Jogja, hingga saat ini. Ia dicintai karena kiprahnya yang luar biasa dalam ‘meng-Indonesiakan’ UGM, salahsatunya dengan merintis program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah-daerah terpencil di Indonesia timur dan menemukan bibit-bibit pelajar unggul dari sana untuk difasilitasi berkuliah di UGM. Salah satu ‘bibit unggul’ yang ditemukan Koesnadi adalah pelajar Adrianus Mooy dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang di kemudian hari berhasil menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Meskipun aspirasi ‘Gempungan’ yang menginginkan rektor UNPAD berasal dari kalangan Sunda didukung oleh nama-nama kondang, toh tidak semua tokoh masyarakat Sunda setuju dengan aspirasi itu. Ketua Paguyuban Pasundan, Prof. Didi Turmudzi, termasuk yang berpandangan bahwa rektor dapat dijawab oleh orang dari suku apapun. Sebab, karakteristik masyarakat Sunda sesungguhnya sangat terbuka.

“Yang terpenting, siapapun calonnya harus mempunyai kecintaan kepada budaya Sunda, bertanggung jawab, dan melestarikan budaya Jawa Barat,” kata Didi, Jum'at (28/9).

Dari ketiga carek, tercatat hanya Atip yang merupakan orang Sunda dan dilahirkan di Tasikmalaya. Sementara, Obsatar adalah orang Batak dan Aldrin merupakan wongkito kelahiran Tanjung Karang. Meskipun demikian, baik Obsatar maupun Aldrin telah lama menjadi warga Jawa Barat, menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki anak-anak yang berbahasa dan berbudaya Sunda.

Jika argumen Didi bahwa masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang terbuka dapat disetujui, maka Obsatar dan Aldrin seharusnya dianggap sebagai bagian dari keluarga Sunda. Secara kultural, mereka juga telah ‘nyunda’ karena telah berpuluh tahun menyatu dengan lingkungan budaya Sunda.

Walau begitu, kasus dugaan pelanggaran moralitas yang menerpa salah satu carek itu tetap perlu disikapi secara terbuka. MWA perlu mengklarifikasi secara tuntas agar tidak terus menerus menjadi isu yang kontraproduktif. Solusi yang bijak dari MWA sangat diharapkan. Sehingga baik kubu carek Obsatar maupun kelompok ‘inohong’ yang tergabung dalam GWPU dapat menjadikan hal tersebut pegangan untuk mengakhiri kontroversi yang banyak menguras energi ini.

Harus diakui bahwa isu moralitas pemimpin sangat penting dalam berbagai kultur nusantara. Budaya Sunda pun menempatkan pemimpin sebagai sosok yang harus memiliki moralitas tinggi. Dalam beberapa naskah Sunda yang mengulas masalah kepemimpinan, seorang pemimpin disebutkan wajib memiliki sifat atau karakter ‘bageur’. Kamus bahasa Sunda yang disusun R Satjadibrata (1948) maupun R.A. Danadibrata (2006) mengartikan ‘bageur’ sebagai orang yang baik perilakunya dan tidak nakal.

Pemimpin yang demikian haruslah memiliki sikap animan (lemah lembut), dalam arti tidak berperilaku kasar. Dalam istilah modern, ‘bageur’ barangkali sepadan dengan pengertian ‘emotional quotion’ (EQ). Dalam bahasa agama, ‘bageur’ mungkin merujuk pada istilah ‘akhlaqul karimah’.

Evaluasi Prosedur

Menteri Nasir telah memutuskan bahwa Kemenristekdikti akan melakukan evaluasi atas Pilrek UNPAD. Ia secara eksplisit menyebutkan bahwa pihaknya akan melihat apakah ada prosedur yang dilanggar dalam Pilrek ini. Tidak ada yang tahu, apakah munculnya pernyataan Nasir mengenai evaluasi prosedur Pilrek itu berangkat dari masukan dari pihak tertentu, ataukah dimaksudkan sebagai respon atas munculnya berbagai isu dalam proses Pilrek UNPAD.

Istilah Prosedur, tentu merujuk pada aturan hukum yang yang memandu proses pemilihan carek. Lalu, apakah aturan-aturan hukum yang berlaku telah sepenuhnya dipatuhi dan dijalankan? Untuk menjawab hal itu, tentu perlu dilakukan kajian hukum yang mendalam.

Prof. Romli Atmasasmita dalam artikelnya di Pikiran Rakyat (4/10) berjudul ‘Calon Rektor UNPAD’ mengajak pemangku kepentingan UNPAD mencermati Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2015 tentang Statuta Unpad, dimana dalam peraturan itu, MWA disebutkan membuat kebijakan umum dan pengawasan terhadap kinerja rektor dalam pengelolaan perguruan tinggi serta mengangkat dan memberhentikan rektor. Dengan posisi yang strategis itu, keanggotaan MWA disyaratkan “tidak memiliki kepentingan” (Pasal 19 huruf f).

Namun, Romli mempertanyakan mengapa klausul tersebut tidak diakomodasi dalam Peraturan MWA No 3 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemilihan Rektor UNPAD. Dalam perkembangannya kemudian, Wakil Ketua MWA yang memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan rektor, justru mencalonkan diri menjadi rektor? Disini menimbulkan adanya konflik kepentingan.

“Disayangkan, justru penyusun peraturan MWA telah dengan sengaja dan secara melawan hukum melanggar ketentuan mengenai syarat ‘tidak memiliki konflik kepentingan’ sebagaimana diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2015; Melawan akal sehat jika syarat tersebut untuk menjadi anggota MWA yang strategis, sedangkan untuk calon rektor pelaksana dari kebijakan umum pengelolaan UNPAD tidak disyaratkan,” urai Romli.

Akibatnya, Peraturan MWA No 3 Tahun 2017 dianggap memiliki cacat hukum dan karena itu dapat dibatalkan keberlakuannya. Lebih jauh lagi, tulis Romli, proses Pilrek pun dapat digugat keabsahannya, sehingga membuka kemungkinan diulangnya proses pemilihan dari awal.

Jika langkah ini yang diambil, tentu akan sangat mahal konsekuensinya bagi segenap civitas akademika UNPAD. Bahkan, berpotensi menyebabkan kegaduhan yang lebih luas di UNPAD serta dapat merusak reputasi kampus ini di mata publik nasional. Pengulangan proses pemilihan juga akan mempermalukan MWA yang diketuai Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika dalam Kabinet Joko Widodo - JK. Di tahun politik seperti ini, potensi kegaduhan di kampus terbesar Jawa Barat itu perlu dihindari agar tidak berkembang menjadi isu baru yang dapat mendelegitimisasi pemerintah.

Didi Turmudzi, Ketua Paguyuban Pasundan yang juga alumni UNPAD, memberikan dukungan kepada MWA. Ia yakin bahwa MWA akan melanjutkan proses pemilihan ke tahap selanjutnya, mengingat waktu, biaya, tenaga, dan pikiran, telah banyak dicurahkan oleh (MWA) UNPAD selama setahun terakhir. Dalam jumpa pers di sekretariat MWA UNPAD (12/10), Paguyuban Pasundan juga menyatakan dukungannya pada setiap keputusan yang dikeluarkan MWA UNPAD. Didi yakin, keputusan-keputusan yang dihasilkan lembaga itu telah melalui kajian yang mendalam.

“Kami percaya MWA adalah majelis yang terhormat, berwibawa, dan amanah, tidak akan mudah terintervensi baik pikiran maupun tindakan oleh pihak manapun,” ucapnya.

Didi juga menawarkan agar pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam segala hal menyangkut proses Pilrek ini dapat duduk bersama untuk mencari titik temu. Tawaran simpatik itu, tentu ada baiknya disambut oleh kelompok-kelompok lain, sehingga masalah-masalah yang lebih substansial dalam Pilrek dapat dicarikan solusinya bersama-sama.

Salah satu hal penting yang perlu mendapatkan perhatian bersama adalah isu evaluasi prosedur yang dilontarkan Menteri Nasir itu. Sebab, seperti yang diuraikan Prof. Romli, dampaknya bisa fatal. Ada baiknya MWA merangkul seluruh pemangku kepentingan dan meyakinkan mereka untuk menerima proses yang telah berjalan sebagai hasil kerja yang musti dihormati. Meski demikian, MWA juga perlu mencari masukan guna mengupayakan terobosan kebijakan demi menghindarkan diri dari penilaian cacat hukum dan potensi gugatan di masa depan.

Jika semua pihak sepakat bahwa proses Pilrek UNPAD harus diteruskan, maka segenap pemangku kepentingan dan pendukung para carek juga harus sadar bahwa tugas terberat MWA dan Kemenristekdikti kali ini bukan hanya memilih seorang rektor. Tetapi, juga memilih cara terbaik untuk keluar dari kemelut yang menyelimuti proses Pilrek sekaligus menyelamatkan reputasi UNPAD. Keputusan MWA dan Kemenristekdikti tentu akan sulit memuaskan semua kelompok, tetapi civitas akademika dan pecinta UNPAD harus percaya bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik dan paling minim risikonya di tengah keterbatasan strategi dan pilihan yang dimiliki MWA saat ini. (ftu)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA