Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

David Vs Goliath Dalam Pemilihan Rektor Unpad

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Senin, 17 September 2018, 13:24 WIB
David Vs Goliath Dalam Pemilihan Rektor Unpad
Universitas Padjadjaran/Net
HARI ini (Senin, 17/9) Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung menetapkan dan mengumumkan secara resmi tiga orang calon rektor Universitas Padjadjaran periode 2019-2024.
 
Sebelumnya, pada Sabtu (15/9) lalu, 15 anggota MWA telah memilih 3 dari 8 orang bakal calon rektor yang mendaftar dan mengikuti seleksi administratif, pemeriksaan kesehatan, dan uji kompetensi.

Tiga orang yang akan mengikuti babak berikutnya adalah Prof. Dr. Obsatar Sinaga, M. Si (meraih 13 suara), Aldrin Herwany, SE, MM, Ph.D (meraih 7 suara) dan Prof. Dr. H. Atip Latipulhayat, SH, LLM (meraih 6 suara). Ketiganya akan bersaing untuk mendapatkan suara dari MWA Unpad yang rencanaya akan menggelar pemungutan suara pada 27 Oktober 2018.

Sejumlah Kejutan

Ada sejumlah "kejutan" dalam pemilihan calon rektor kedua belas Unpad, namun pemilihan kali ini adalah yang pertama kali dilakukan dalam status Unpad sebagai PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum).
 
Pertama, adalah tersingkirnya rektor petahana, Prof. Dr. Tri Hanggono Achmad. Tri hanya mendapatkan 5 suara sehingga terlempar dari tiga besar. Sebagai petahana, "nasib" pencalonan Tri sungguh memilukan.

Beberapa hari sebelum pemungutan suara yang digelar Sabtu lalu (15/9), muncul petisi online di change.org dengan judul “Tolak Tri Hanggono Achmad dipilih kembali sebagai Rektor Unpad” yang diinisasi akun Bilal Dewansyah.
 
Bilal bersama kelompok mahasiswa, dosen, dan tenaga keberhasihan kampus yang tergabung dalam GAMU (Gelora Aksi Masyarakat Unpad) dalam beberapa bulan terakhir aktif melakukan aksi menuntut Tri mundur dari jabatan Rektor Unpad.

Pada akhirnya, Tri memang tidak lolos dalam pemilihan tiga besar di MWA. Sebanyak 17 dari 15 anggota MWA (terdiri dari perwakilan senat akademik, masyarakat, mahasiswa, alumni, dan tenaga kependidikan) yang memiliki hak pilih telah memilih 3 calon rektor dari 8 bakal calon yang tersedia.

Tri sebagai Rektor petahana, beserta Ketua Senat Akademik Unpad, tidak memiliki hak pilih dalam voting tersebut, sehingga hanya bisa menyaksikan kekalahan dirinya di fase yang terlalu awal.

Kejutan lain dalam pemilihan calon rektor Unpad itu adalah tersingkirnya nama Prof. Dr. Ahmad Mujahid Ramli, SH, MH, Dirjen Penyelenggaraan Pos & Informatika (PPI) Kementerian Komukasi dan Informatika (Kominfo) dan mantan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI.

Ramli disebut-sebut maju sebagai bakal calon rektor atas dorongan Ketua MWA Rudiantara yang juga Menteri Kominfo. Namun, perolehan suara Ramli dalam sidang MWA tersebut jauh dari harapan. Rekam jejak Ramli sebagai pejabat eselon satu pemerintah pusat di dua Kementerian yang berbeda belum mampu mengatrol minat para anggota MWA untuk memilihnya.

Yang Dipersepsi Dekat dengan Mega

Munculnya nama Obsatar Sinaga sebagai peraih suara terbanyak dalam pemilihan calon rektor Unpad itu memang sudah diduga banyak kalangan di dalam kampus.

Obsatar adalah Wakil Ketua MWA Unpad. Jabatannya sebagai wakil dari Rudiantara ini dinilai berbagai kalangan sebagai posisi yang sangat strategis. Dengan kesibukan Rudiantara sebagai Menkominfo di Jakarta, Obsatar punya kemungkinan tampil dominan di dalam MWA. Kenyataan bahwa ia meraih 13 dari 15 suara maksimal dalam pemilihan itu, serta terpentalnya Ramli yang merupakan bawahan Rudiantara di Kementerian Kominfo, mengkonfirmasi dominasi tersebut.

Jika peraturan MWA mengecualikan Tri sebagai Rektor ikut memberikan suaranya dalam pemilihan, Obsatar sebagai Wakil Ketua MWA dan bakal calon rektor tidak terkena peraturan yang sama.

Ketika Tri dituntut untuk mengajukan cuti sebagai rektor oleh GAMU dengan alasan adanya peraturan MWA yang mengharuskannya cuti serta untuk menghindari konflik kepentingan, tidak ada satu pihak pun yang menuntut secara terbuka agar Obsatar cuti dari posisi Wakil Ketua MWA saat ia menjadi bakal calon (dan sekarang calon) rektor.
 
Meskipun tidak ada peraturan mengenai cuti atau mundur anggota atau pimpinan MWA yang ikut mencalonkan diri dalam pemilihan rektor, mungkinkah kelompok kritis di UNPAD tidak menganggap pimpinan MWA memiliki potensi conflict of interest apabila ia mencalonkan diri sebagai rektor tanpa cuti atau mundur? Sehingga, ia punya keleluasaan untuk aktif terlibat dalam sidang-sidang MWA, terlibat dalam berbagai penyusunan peraturan teknis pemilihan rektor, menggunakan pengaruhnya terhadap anggota-anggota MWA yang lain, berpendapat serta menggunakan hak pilihnya dalam posisi ia menjadi bakal calon rektor?

Tak dipungkiri, Obsatar merupakan figur yang sedang naik daun. Selain menjadi guru besar hubungan internasional FISIP Unpad dan pengamat terorisme, Pria kelahiran Deli Serdang itu juga menjadi anggota Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Meski demikian, bisa dimaklumi di lembaga tersebut, Obsatar jarang “ngantor” di Jakarta dan lebih banyak beraktifitas di Bandung.

Nama alumni Program Doktor FISIP Unpad itu mencuat di kalangan civitas akademika saat ia menjadi Ketua Tim Promotor dalam pemberian gelar Doctor Honoris Causa (HC) kepada Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, dua tahun lalu. Karena itu, ia dipersepsikan sebagian kalangan kampus sebagai kandidat yang paling kuat lobinya ke pusat kekuasaan.

Tri Semakin Disudutkan

Tak pelak, Tri makin disudutkan. Walau yang berperan sebagai ‘otak’ atau Ketua Tim Promotor penganugerahan gelar kehormatan itu adalah Obsatar, Tri sebagai Rektor tetap dianggap pihak yang paling bertanggung jawab.

Dalam dua tahun terakhir, Tri terus menjadi sasaran ketidakpuasan yang tak sepenuhnya bisa ia kendalikan. Kebijakan-kebijakan di era kepemimpinannya yang dianggap bermasalah oleh sebagian kalangan kampus, membuatnya makin berat mendapatkan simpati dari anggota-anggota MWA.

Sudah begitu, ia juga mengeluarkan kebijakan yang sensitif, seperti mendatangkan Brimob untuk menjaga kampus, sehingga hati kalangan yang "beroposisi" terhadap kepemimpinannya kian mengeras.

Padahal, terkait berbagai kebijakan itu, Tri bisa saja menganggap tidak adil jika hanya dirinya yang harus dipersalahkan. Jika daftar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilansir beberapa media, terhadap kinerja Unpad dicermati, sebagian poin menunjukkan kurangnya ‘gigitan’ kontrol dari MWA.

Jika kebijakan Tri berlangsung selama bertahun-tahun namun tanpa adanya koreksi atau upaya pembatalan dari MWA, tentu peran kontrol dan monitoring dari lembaga yang berwibawa itu patut dipertanyakan.
 
Pendirian kampus di Pangandaran dan Garut tentu memerlukan proses yang tidak sebentar dan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh Rektor. Sehingga, anggota-anggota MWA seharusnya memantaunya. Dan, jika hal tersebut dinilai menyalahi peraturan, sudah seharusnya dihentikan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.

Dengan demikian, bukan hanya pihak yang melakukan dan melanjutkan kesalahan saja yang semestinya menjadi sasaran kritik. Pihak yang memiliki kewenanganan untuk menyetop kesalahan berlarut selayaknya juga mendapatkan kritik.

Dalam konteks ini, kesolidan MWA menjadi sangat penting untuk disorot. Hanya dengan kolektifitas yang kuatlah organisasi MWA dapat bekerja optimal sehingga mampu berperan menghindarkan Rektor beserta jajarannya menjalankan kebijakan-kebijakan bermasalah secara berlarut-larut.

Kesibukan Ketua MWA Rudiantara sebagai pejabat di level tertinggi organisasi pemerintahan seharusnya dapat di-cover oleh pimpinan dan anggota MWA yang lain secara maksimal. Belajar dari pengalaman beberapa tahun terakhir, dimana kebijakan-kebijakan Tri yang bermasalah berpotensi menurunkan kinerja keuangan Unpad secara tajam, MWA seharusnya sangat aktif "meniupkan peluit" saat Tri dinilai publik kampus sedang "salah langkah".

Di Atas Angin

Dengan terlemparnya Tri dari tiga besar calon rektor Unpad saat ini, posisi Obsatar untuk sementara berada di "atas angin". Dalam pemungutan suara untuk mengerucutkan pilihan dari tiga orang calon rektor menjadi satu rektor terpilih, selain MWA, Kementerian Dikti dan Ristek (Kemdiktiristek) sebagai wakil pemerintah juga memiliki hal suara. Ada 35 persen hak suara yang dimiliki Kemdiktiristek.

Jika dalam pemungutan itu masing-masing pemilik hak suara memiliki satu suara, maka Kemdiktiristek memiliki sekitar 6 suara. Apalabila suara tersebut digunakan secara blocking untuk seorang kandidat yang direstui pemerintah, maka besarannya cukup signifikan. Dengan rekam jejak sebagai Ketua Tim Promotor dalam promosi Dr. (HC) Megawati, Obsatar diuntungkan karena lebih dikenal oleh para pengambil kebijakan di pusat kekuasaan.

Karena itu, "pertarungan" di "babak tiga besar" calon rektor Unpad, bisa diibaratkan seperti pertandingan Goliath versus David. Aldrin Herwany dan Atip Latipulhayat, dua orang "penantang" Obsatar, meskipun memiliki profil sebagai orang-orang berprestasi di Unpad yang memiliki kiprah luas di level nasional dan mungkin dunia, tak memiliki akses ke anggota-anggota MWA dan pengambil kebijakan di level pusat sebaik Obsatar.

Peta Dinamis dan Ngeri-ngeri Sedap

Meski demikian, peta masih dinamis dan bisa saja berubah. Berbagai informasi positif maupun negatif yang muncul mengenai calon rektor biasanya akan terblow-up menjelang pemungutan suara yang paling menentukan, sehingga informasi-informasi itu bisa saja mempengaruhi anggota-anggota MWA maupun wakil pemerintah yang memiliki hak pilih.

Hanya sehari pasca pemilihan calon rektor saja, rumor "ngeri-ngeri sedap" yang terkait dengan kandidat sudah bermunculan. Salah satunya adalah rumor mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang kisahnya mulai jadi bahan "rumpian" di kalangan dosen-dosen perempuan di Unpad.

Pemilihan rektor perguruan tinggi merupakan drama yang kadang mengejutkan hasil akhirnya. Dalam politik, termasuk politik dalam skala pemilihan rektor, semua kemungkinan bisa terjadi.

Seorang Mahfud MD yang sudah dihubungi untuk bersiap-siap deklarasi menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Joko Widodo saja bisa batal "takdirnya" di menit-menit terakhir. Apalagi, pada minggu-minggu menjelang pemilihan. Joke yang beredar di sebagain kalangan kampus, jika di level nasional ada Ma’ruf Amin, bisa saja di level Unpad nanti ada Ma’ruf Aldrin atau Ma’ruf Atip.

Uniknya, tiga calon rektor UNPAD ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Obsatar adalah ilmuwan politik yang dekat dengan para politisi papan atas serta terlihat punya kemampuan "berpolitik" yang "canggih" sehingga mampu mendapatkan 13 dari 15 suara dalam pemilihan calon rektor. Aldrin yang ahli keuangan lebih tampak sebagai sosok periset, manajer, dan pekerja profesional. Sementara itu, Atip merupakan pakar hukum yang juga aktivis dan da’i yang bergelut dengan isu-isu keislaman. Ketiganya tentu dinilai memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik oleh para pemilih di MWA.

Aldrin Herwany dikenal profilnya sebagai peneliti keuangan dari FEB Unpad dan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Jawa Barat. Wongkito kelahiran Tanjung Karang tahun 1969 ini memperoleh Charter Award dari Unpad (2011) setelah tiga tahun berturut-turut (2008-2010) menyabet penghargaan paper terbaik dalam rangkaian konferensi ilmiah paling bergensi di bidang ilmu keuangan tingkat dunia yang diselenggarakan The Institute for Business and Finance Research (IBFR).
 
Saat ini, Aldrin juga menjadi anggota Kompartemen Ekonomi Kreatif - KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional). Keberadaan alumni Program Doktor dari International Islamic University Malaysia ini dalam tiga besar calon rektor menjadi menarik. Di satu sisi, ia memiliki reputasi sebagai pakar keuangan. Sementara di sisi lain, Unpad sedang ‘bergejolak’ karena berbagai persoalan yang sebagian besar terkait dengan pengelolaan keuangan.

Kompetitor Obsatar yang lain adalah tokoh Islam yang memiliki karakter. Atip Latipulhayat, selain merupakan pakar hukum internasional FH Unpad juga salah satu tokoh penting dan Ketua PP Persatuan Islam (Persis), ormas Islam besar yang mengakar kuat di bumi Jawa Barat. Pakar yang juga populer sebagai ustadz atau pendakwah itu merupakan alumni Program Doktor dari salah satu kampus terbaik di dunia, Monash University, Australia.

Putra kelahiran Tasikmalaya tahun 1964 itu juga berkiprah dalam berbagai gerakan keagamaan, salah satunya menjadi Ketua Dewan Pakar ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syi’ah).

Keberadaanmsosok Kyai Atip sebagai satu-satunya calon rektor yang merupakan "putra daerah" menjadi menarik, karena hal ini bisa membuktikan bahwa Unpad sedang bertransisi dari kampus yang membawa identitas budaya Jawa Barat menjadi kampus kosmopolit yang menjadi miniatur Indonesia; sebuah kampus yang menyemai keragaman budaya sembari tetap merawat nilai-nilai dan budaya kesundaan dalam berbagai aspek kehidupannya. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA