Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengawasan Transportasi Air Lemah, Ini Usul Pimpinan DPR

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-1'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Sabtu, 23 Juni 2018, 11:50 WIB
Pengawasan Transportasi Air Lemah, Ini Usul Pimpinan DPR
Fadli Zon
rmol news logo Penyebab utama terus terjadinya kecelakaan transportasi air dan jumlah korban yang meningkat di Indonesia adalah lemahnya pengawasan.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, dalam keterangannya yang diterima redaksi (Sabtu, 23/6).

"Untuk kasus KM Sinar Bangun (di Danau Toba), misalnya, bagaimana bisa kapal penumpang tak punya manifes? Bagaimana bisa kapal yang tak memiliki manifes diizinkan berlayar? Itu semua menunjukkan pengawasan sektor transportasi laut memang sangat minim," katanya.

Pemerintah tidak boleh terus-menerus mengurus pembangunan jalan tol atau Bandara tetapi mengabaikan moda transportasi lain. Ada beberapa hal yang menurut Fadli perlu dievaluasi dan diberi perhatian.

Pertama, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) semestinya tak lagi hanya menyelidiki penyebab terjadinya kecelakaan, tapi juga mengevaluasi prosedur boleh tidaknya sebuah kapal berlayar. Menurut UU 17/2008 tentang Pelayaran, otoritas pelabuhan dan syahbandar mengemban fungsi pengawasan tersebut. Merekalah yang memungkinkan sebuah kapal bisa berlayar atau tidak.

“Jadi, otoritas pelabuhan dan syahbandar harus ikut dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya perusahaan pemilik kapal," terang Fadli.

Dalam kasus KM Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba pada Senin 18 Juni lalu, otoritas pelabuhan setempat terbukti lalai dalam melakukan pengawasan, sehingga membiarkan KM Sinar Bangun meninggalkan pelabuhan dengan kelebihan penumpang. Kelalaian itu juga bisa dilihat dari tidak adanya manifes penumpang.

"Dengan kelalaian tersebut, seharusnya otoritas pelabuhan dan syahbandar bisa diancam delik pidana. Jika tidak, kasus kelalaian yang mencelakakan semacam ini akan terus terulang," ucap Fadli.

Kedua, secara teknis, kasus kecelakaan yang menelan banyak korban biasanya terjadi akibat kelebihan muatan dan penyalahgunaan peruntukan. Dalam kasus KM Sinar Bangun, misalnya, Kementerian Perhubungan menyebut kapasitas kapal tersebut hanya 43 penumpang, tapi dijejali lebih dari 192 penumpang. Atau, dalam kasus KM Arista di Makassar, kapal tersebut bukan kapal penumpang tapi kemudian dijadikan kapal penumpang. Sehingga, kapal tidak menyediakan perlengkapan keselamatan memadai saat kecelakaan.

"Pelanggaran semacam itu biasa terjadi karena tidak ada sarana transportasi memadai yang bisa digunakan oleh penduduk, baik jumlah maupun frekuensi. Ini perlu segera diatasi oleh pemerintah. Kementerian Perhubungan seharusnya sudah mengantisipasi lonjakan penumpang transportasi laut," tutup Fadli. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA