Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dedi Mulyadi: Zakat Harus Jadi Solusi Masalah Kemiskinan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Sabtu, 26 Mei 2018, 05:47 WIB
Dedi Mulyadi: Zakat Harus Jadi Solusi Masalah Kemiskinan
Dedi Mulyadi/RMOL Jabar
rmol news logo Masalah kemiskinan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat seharusnya sudah terselesaikan berkat kehadiran Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).

Baznas bertugas menghimpun charity dengan produk berupa zakat, infaq dan sodaqoh. Sementara Ditjen Pajak rutin memungut pajak setiap tahun.

“Secara logika, seharusnya Indonesia menjadi bangsa maju dan makmur karena ada dua kanal besar penghimpun dana. Ada Badan Amil Zakat Nasional dan Direktorat Pajak,” kata Calon Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di kawasan Grand Wisata, Kecamatan Tambun Selatan, Bekasi, Jumat (25/5).

Menurut Dedi, dalam tata aturan penyaluran zakat, Islam telah memberikan panduan konkret. Zakat tersebut harus diberikan kepada 8 ashnaf (golongan) yang tercantum dalam Surat At Taubah ayat 60. Sehingga melalui penyaluran yang tepat, zakat seharusnya mampu menjadi solusi mengentaskan kemiskinan di negeri ini.

“Sasarannya jelas sesuai dengan dimensi sosial. Zakat harus disalurkan kepada 8 golongan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seluruh golongan ini berhak menerima sesuai dengan proporsi masing-masing,” katanya.

Berdasarkan keterangan tersebut, kedelapan golongan itu adalah fakir, miskin, amilin (operasional pengumpul) dan muallaf. Selain itu, hamba sahaya, gharimin (orang berhutang), sabilillah dan ibnu sabil termasuk ke dalam 8 golongan tersebut.

Sabilillah merupakan orang yang berjuang di jalan Allah swt dengan berbagai kapasitas kemampuan. Sementara Ibnu Sabil merupakan orang yang kehabisan bekal saat menempuh perjalanan jauh untuk kepentingan Agama Islam.

Santri Kiai Ma’ruf Amin tersebut berpandangan, kedelapan ashnaf ini juga merupakan tanggung jawab negara. Artinya, bukan semata tugas sebuah badan amil zakat untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui penghimpunan dana umat.

“Itu juga kan termasuk ke dalam amanat konstitusi kita, amanat UUD 1945. Saya kira itu satu substansi,” katanya seperti dikutip RMOL Jabar.

Dedi Mulyadi kemudian menjabarkan bahwa penguasa Perancis Napoleon Bonaparte melihat posisi strategis zakat sebagai jaring pengaman sosial dan instrumen pembangunan. Karena itu, dia memberlakukan pungutan di Perancis serupa zakat, dalam hal ini pajak.

Sistem ini kemudian terkenal di Eropa dan diadopsi oleh Belanda. Negara terakhir ini menjajah Nusantara dan memberlakukan sistem pajak untuk menopang logistik operasional di koloninya. Bahkan, sebagian besar hasil pajak tersebut dibawa ke Belanda.

“Nah, ini mereka niru-niru zakat nih. Lahirlah sistem pajak pertama kali di Prancis, diadopsi Belanda dan kita mengenalnya karena dijajah,” ucap Dedi.

Kader Nahdlatul Ulama itu menilai APBN dan APBD selain berpihak pada 8 ashnaf juga harus berpihak pada pembangunan. Sehingga, ada dimensi penyelesaian masalah sosial yang tercermin dalam dokumen uang rakyat tersebut.

“Di Negara Barat misalnya, pengangguran pun diberikan tunjangan sosial. Itu dari dana pajak. Kita punya dua sumber, pajak dan zakat, harusnya lebih makmur kan?” kata dia heran. [ian]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA