Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

FSGI: Keberadaan UN Sebenarnya Bikin Galau Kemendikbud

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 15 April 2018, 11:44 WIB
FSGI: Keberadaan UN Sebenarnya Bikin Galau Kemendikbud
Foto: Net
rmol news logo Sebagian besar peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) SMA tahun 2018 mengeluhkan sulitnya soal-soal UNBK, terutama mata uji matematika.

Kisi-kisi soal dan try out yang dipelajari para siswa selama berbulan-bulan, ternyata soal yang keluar  jauh dari perkiraan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai permintaan maaf Kemendikbud atas keluhan para siswa tidaklah cukup tanpa disertai evaluasi  menyeluruh atas soal-soal UNBK.
                                                                                                           
"Kesulitan para siswa menjawab soal soal UNBK Matematika tersebut diakibatkan oleh ketidaksamaan soal yang keluar dengan kisi-kisi soal dan try out yang sudah dilakukan berkali-kali sebelum UNBK. Tentu hal ini membuat kondisi psikologis siswa terganggu," urai Wakil Sekjen FSGI, Satriwan Salim yang juga guru SMA di Jakarta.

Mendikbud  mengklaim kisi-kisi yang diturunkan dan sudah disosialisasi kepada para guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). 

Menurut Menteri, soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS) dan telah sesuai dengan kisi-kisi. 

Sementara dalam konteks teori pendidikan, papar Satriawan, tingkatan keterampilan berpikir atau cognitive skills yang merupakan domain pengetahuan tersebut ada enam tingkatan, kemudian dikenal dengan Taksonomi Bloom (Benyamin S. Bloom) yang direvisi oleh Lorin Anderson (2001).

Untuk memudahkan mengingatnya, dalam tataran praktis pendidikan dikenal kemudian istilah C-1 (Mengingat), C-2 (Memahami), C-3 (Menerapkan), C-4 (Menganalisis), C-5 )Menilai/Mengevaluasi) dan C-6 (Mencipta/Kreasi). Untuk keterampilan berpikir C-1 sampai dengan C-3 disebut "keterampilan berpikir tingkat rendah" sedangkan C-4 sampai C-6 disebut "keterampilan berpikir tingkat tinggi".

"Faktanya, kondisi saat ini para siswa kita masih berpikir di level tingkat rendah (Lower order thinking skill), sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai assessment internasional, seperti PISA dan TIMSS," ujar Satriwan.                                          

Keterampilan berpikir HOTS mestinya bukan dititikberatkan (fokus) di akhir pembelajaran siswa/i soal ujian atau ketika UNBK). HOTS  lebih ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran selama tiga tahun itu.

"Itu artinya, pernyataan dan pembelaan diri Mendikbud kemungkinan besar keliru, karena memfokuskan berpikir HOTS hanya pada soal UNBK. Menguji seorang anak dengan soal yang tidak pernah diajarkan adalah bentuk ketidakadilan," tegas pengurus SGI Mataram, Mansur yang juga guru SMA di Lombok Barat.

Menurut Mansur, jika ingin para siswa berpikir pada level HOTS maka guru harus menampilkan proses pembelajaran yang HOTS pula di dalam kelas (sekolah). Sebab percuma saja soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif.

"Fakta di ruang-ruang kelas selama ini, ketika menjelang UN, para guru dan siswa hanya fokus men-drill soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya, try out beberapa kali yang diselenggarkan sekolah dan Dinas Pendidikan setempat, siswa dilatih untuk mampu menjawab soal-soal secara cepat-tepat," ujar Slamet Maryanto yang juga guru di SMA.  
                                               
Tujuan dan fungsi UN itu sendiri baik yang menggunakan komputer maupun kertas jadi kembali dipertanyakan publik. "Untuk apa sesungguhnya UN tersebut digunakan pemerintah," kritik Satriawan.

Keberadaan UN ini sebenarnya sangat paradoks. UN diwajibkan tapi tidak lagi dijadikan penentu kelulusan. Kemudian biaya pelaksanaannya mahal, dan penggunaan hasilnya tidak berkelanjutan pula karena masuk ke universitas juga tidak pakai nilai UN.

"Jika tujuannya adalah untuk pemetaan, apakah harus soal seperti ini? Dan jika memang dipakai pemerintah sebagai alat pemetaan kualitas sekolah, apa tindak lanjut pemerintah? Bahkan kami duga pemerintah juga tidak pernah mepublikasikan hasil pemetaan tersebut, itupun jika ada," urainya.

"Bagi sekolah yang hasil UN-nya buruk, sudah adakah tindakan nyata tertentu untuk memperbaiki kualitas sekolah/pendidikan?" imbuhnya.

Masih kata Satriwan, jika keberadaan UN hasilnya digunakan untuk memotret kualitas sekolah juga dinilainya sangat paradoks. Karena pemerintah sudah melakukan akreditasi sekolah yang mengacu pada delapan standar nasional pendidikan. Hasil akreditasi sekolah ini lebih komprehensif untuk memotret kualitas sebuah sekolah.

"Jadi kesimpulannya, FSGI menilai Kemdikbud sebenarnya galau terkait keberadaan UN ini. Jangan sampai biaya besar dan energi sekolah habis untuk melaksanakan suatu program besar yang tidak jelas fungsi dan kegunaannya," tutup Satriawan.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA