Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Produktifitas Pertanian Rendah Karena Kualitas Bibit Petani Jelek Dan Masih Impor

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 22 Mei 2017, 16:15 WIB
Produktifitas Pertanian Rendah Karena Kualitas Bibit Petani Jelek Dan Masih Impor
Benih Petani/net
Penyediaan pangan melalui pertanian bukan usaha yang mudah. Konversi lahan-lahan pertanian produktif menjadi lahan peruntukan lain hanya salah satu dari banyak tantangan di Indonesia.

Demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Lampung (UNILA), Bustanul Arifin dalam acara Forum Diskusi Ekonomi Politik di bilangan Kuningan, Jakarta, Senin (22/5).

Lebih lanjut Bustanul memaparkan, tantangan lainnya yang juga tidak mudah di Indonesia adalah ketersediaan benih.

"Benih yang dipakai petani menjadi faktor rendahnya produktifitas pertanian di Indonesia,"kata Bustanul.

Bustanul membeberkan, benih IR64 yang dibuat pada tahun 1986 digunakan petani di Jawa Timur sebanyak 15,34%, sedangkan benih Inpari 13 dibuat pada tahun 2009 hanya digunakan sebanyak 3,29%. Sedangkan benih padi IR42 yang dibuat tahun 1980 masih digunakan petani di Sumatera Barat sebesar 18,25%.

“Petani kita masih mengunakan bibit dari berpuluh-puluh tahun yang lalu, sedangkan bibit yang baik diadopsi oleh petani masih sangat kecil. Penyediaan bibit atau benih di Indonesia memang tidak mudah dilakukan. Saat ini, lebih dari separuh kebutuhan benih Indonesia harus dipasok dari impor,"sesal Bustanul.

Bustanul menjelaskan, penyediaan benih sejak tahap penelitian hingga siap pakai memang butuh waktu tidak singkat. Mulai dari pemuliaan di laboratorium, uji coba di lahan terbatas lalu massal, hingga tahap produksi dan distribusi massal butuh hingga 10 tahun.

Ketua Dewan Nasional KPA, Iwan Nurdin dalam kesempatan yang sama menjelaskan, Kedaulatan Pangan di Indonesia sesungguhnya dijamin dalam UU 18 Tahun 2012. Namun Indonesia masih belum dapat menerapkan Kedaulatan Pangan sesuai dengan Undang-Undang tersebut.

"Berbagai faktor Indonesia belum mencapai kedaulatan pangan, salah satunya adalah  produktifitas pangan rendah. Total factor productivity (TFP) pertanian Indonesia adalah 1% sedangkan rata-rata produktifitas di negara ASEAN adalah 1,4%,"kata Iwan.

Iwan mengatakan UU No.19/2013 tentang Perlindungan disebutkan pemerintah hadir dalam mekanisme subsidi untuk sektor pertanian. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan celah korupsi dalam program pupuk bersubsidi di tingkat perencanaan, penentuan harga pokok penjualan hingga penyaluran komoditas tersebut sepanjang 2014-2016.

“Kerawanan korupsi di program subsidi di antaranya adalah perencanaan alokasi pupuk dan benih bersubsidi, mekanisme penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) dan pengawasan yang tak maksimal,” ucap Iwan.

Dia menjelaskan program subsidi harus dirombak dengan cara pemberian subsidi langsung kepada para petani. Namun tantangannya adalah bagaimana petani tetap mendapatkan benih yang berkualitas dalam koridor subsidi. Iwan menambahkan, mekanisme subsidi bisa dilakukan dengan memberikan dana ditransfer langsung kepada petani, agar petani bisa memilih benih yang berkualitas.

Hal senanda juga disampaikan Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori yang mengatakan kedaulatan pangan dilemahkan oleh kelembagaan yang ada di negara. Seperti, Politik anggaran saat ini mulai berpihak ke sektor pertanian. Tapi, karena pangan diurus 18 kementerian/lembaga, anggaran terpecah-pecah. Kebijakan antar kementerian/lembaga masih belum padu, bahkan saling bertentangan.

“Belum lagi, otonomi daerah membuat produksi pangan diurus daerah. Padahal, kebanyakan elit daerah acuh mengurus pangan-pertanian. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah,” demikian Khudori.[san]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA