Permintaan tersebut mengingat kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai sudah beberapa kali terjadi. Yaitu, pada tahun 1979, tahun 1989, dan tahun 1998.
Komnas HAM mendorong proses reintegrasi sosial harus dipimpin oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Tanjung Balai.
"Sebelumnya juga pernah konflik antara Melayu dan suku Aceh di Tanjung Balai. Jadi memang Tanjung Balai ini wilayah yang rentan konflik ras dan etnis," ujar Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, di kantornya, Jakarta, Kamis, (11/8).
Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah mencari tahu dan memutus mata rantai komunikasi yang berorientasi pada kebencian ras, etnis dan agama.
Komnas HAM menilai kerusuhan pada Sabtu akhir bulan lalu terjadi karena penanggung jawab keamanan belum mampu mengorganisir kekuatan internal aparat keamanan dan tidak mampu mengendalikan amuk massa di Kota Tanjung Balai.
"Aparat keamanan lambat mengantisipasi amuk massa sehingga menyebabkan rusak dan terbakarnya 15 bangunan yang terdiri dari rumah ibadah dan rumah pribadi," kata Pigai.
Kerusuhan yang berujung pembakaran sejumlah wihara dan kelenteng di Tanjung Balai pada Sabtu (30/7) lalu berawal dari protes seorang warga etnis Cina terhadap suara azan di masjid Al Maksum, Jalan Karya Tanjung Balai tepatnya di depan rumahnya. Kemudian, ditengarai ada provokasi lewat media sosial.
zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: